Analisis pendapat Imam Syafi’i tentang khulu’ suami memiliki hak ruju’ terhadap istri safihah

Syaifullah, Syaifullah (2008) Analisis pendapat Imam Syafi’i tentang khulu’ suami memiliki hak ruju’ terhadap istri safihah. Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo.

[thumbnail of Skripsi_2101029_SYAIFULLAH]
Preview
Text (Skripsi_2101029_SYAIFULLAH)
2101029_SYAIFULLAH.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (1MB) | Preview

Abstract

Tentang status perceraian karena khulu’ dapat dikemukakan, bahwa bila seorang istri telah melakukan khulu’ terhadap suaminya, maka dengan khulu’ tersebut bekas istri menguasai dirinya sendiri secara penuh, suami tidak berhak merujuknya kembali. Segala urusan berada di tangan bekas istri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya guna melepaskan dirinya.
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu’ kepada suami itu wajib sudah balig dan berakal sehat, dan mereka berbeda pendapat tentang keabsahan khulu’ wanita yang bodoh (safihah) manakala diizinkan oleh walinya, imam Syafi’i dalam kitab al-Umm membolehkan ruju’ bagi suami yang telah menjatuhkan talaq secara khulu’ kepada istri yang dalam keadaan safihah, dan beliau berpendapat orang yang safih masih dalam kekuasaan currator.
Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut tentang bagaimana keabsahan ruju’ suami kepada istri safihah yang dikhulu’ , dengan menggunakan harta, dan apakah konsep khulu’ yang didefinisikan beliau sesuai dengan pengertian khulu’ itu sendiri.
Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian, sedangkan metode yang digunakan oleh penulis yaitu dengan pengumpulan data. Yang datanya diambil melalui telaah skripsi dan kitab-kitab fiqih, ushul fiqih, hadis dan tafsir, kemudian dianalisis dengan pendekatan ushul fiqih dan metode kualitatif diskriptif analisis.
Istinbat hukum yang beliau gunakan dalam permasalahan mahjur mengambil dasar Q.S. al-Baqarah ayat 282 dan Q.S. an-Nisa ayat 6, beliau menetapkan kondisi kanak-kanak, orang lemah akalnya, anak yatim dan safih ditaruh di bawah kekuasaan wali.
Pendapat imam Syafi’i tersebut bila diterapkan di Indonesia, penulis rasa kurang tepat, mengingat kondisi sosial masyarakat muslim Indonesia berbeda dengan kondisi di era beliau, dalam KHI pada pasal 161 diatur perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talaq dan tidak dapat diruju’ kembali, akan tetapi imam Syafi’i memperbolehkan suami untuk meruju’ bekas istrinya.
Dan dalam UU. No.1 tahun 1974 pada ayat 1 yang menyebutkan ” Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali ”, dalam perwalian ini juga terdapat pada Inpres No. 1 Tahun 1991 pada pasal 107 ayat 1 menyebutkan : ” Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan ”.

Item Type: Thesis (Undergraduate (S1))
Uncontrolled Keywords: Khulu'; Rujuk; Perceraian; Safiah
Subjects: 200 Religion (Class here Comparative religion) > 290 Other religions > 297 Islam and religions originating in it > 297.5 Islamic ethics, practice > 297.57 Religious experience, life, practice > 297.577 Marriage and family life
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > 74230 - Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyyah)
Depositing User: Miswan Miswan
Date Deposited: 03 Nov 2020 06:19
Last Modified: 03 Nov 2020 06:19
URI: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11680

Actions (login required)

View Item
View Item

Downloads

Downloads per month over past year

View more statistics