Studi analisis penegakan hukuman kebiri kimia dalam Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak: Studi Kasus di Pengadilan Negeri Mojokerto dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto)

Mahanani, Ika Listya (2020) Studi analisis penegakan hukuman kebiri kimia dalam Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak: Studi Kasus di Pengadilan Negeri Mojokerto dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto). Undergraduate (S1) thesis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

[thumbnail of SKRIPSI_1602056025_IKA_LISTYA_MAHANANI]
Preview
Text (SKRIPSI_1602056025_IKA_LISTYA_MAHANANI)
SKRIPSI_1602056025_IKA_LISTYA_MAHANANI.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (2MB) | Preview

Abstract

Dewasa ini, kasus kejahatan seksual terhadap anak marak terjadi di beberapa kota di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pemerkosaan. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan dari hari ke hari kejahatan seksual terhadap anak terus terjadi. LPSK mencatat ada peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi sejak 2016 sejumlah 25 kasus, lalu meningkat pada 2017 menjadi 81 kasus, dan puncaknya menjadi 206 kasus. Angka tersebut terus bertambah setiap tahun. Padahal pada tahun 2016, pemerintah telah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang di dalam salah satu pasalnya mengatur mengenai hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak berupa kebiri kimia. Hal tersebut menjadi tidak sejalan karena tujuan dari dihadirkannya kebiri kimia adalah sebagai upaya preventif dan represif kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Berangkat dari fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul skripsi Studi Analisis Penegakan Hukuman Kebiri Kimia Dalam Undang-Undang Ri Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Perkara Nomor 69/Pid.Sus/2019/Pn Mjk Dan Perkara Nomor 65/Pid.Sus/2019/Pn Mjk Di Pengadilan Negeri Mojokerto) dengan rumusan masalah sebagai berikut: ketentuan/aturan hukuman kebiri kimia dalam Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor 69/Pid.Sus/2019/PN Mjk dan Putusan Pengadilan Nomor 65/Pid.Sus/2019/PN Mjk, hukuman kebiri kimia dilihat dari segi keadilan, HAM, dan kesehatan pelaku.
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Mojokerto. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian lapangan dan wawancara. Kemudian data diolah dan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif yang selanjutnya disajikan secara deskriptif.
Dari penelitian yang dilakukan penulis, didapatkan data hasil penelitian yang mana sebagai berikut:
1. Hukuman Kebiri Kimia telah diatur dalam Pasal 81 ayat 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang berbunyi “terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan alat pendeteksi elektronik”. Ayat (4) dan ayat (5) yang dimaksud dalam Pasal ini merujuk kepada hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Ayat (4) memiliki bunyi “selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D. Pada ayat (3) menjelaskan mengenai pelaku kekerasan seksual seperti disebutkan pada Pasal 76D yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Kemudian dilanjutkan dalam Ayat (5) yang berbunyi “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 76 D yang dimaksud adalah Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2002 yang dalam undang-undang ini belum mengatur mengenai hukuman kebiri kimia.
2. Pengadilan Negeri Mojokerto mengeluarkan Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2019/PN Mjk dan Putusan Nomor 65/Pid.Sus/2019/PN Mjk atas tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan Muh. Aris. Dalam istilah pidana, pemerkosaan oleh Muh. Aris tersebut termasuk dalam tindak perbarengan (concursus realis) karena dilakukan terhadap 9 anak dengan tempus delicti yang berbeda yang mana 2 dari pihak korban melapor dan lainnya mengalami trauma sehingga ada 2 berkas yang ditangani pihak kepolisian. Pada Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2019/PN Mjk, majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap Muh. Aris dengan pidana penjara 12 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), serta pidana tambahan berupa kebiri kimia. Selanjutnya pada Putusan Nomor 65/Pid.Sus/2019/PN Mjk, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 8 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Oleh karena pemerkosaan tersebut termasuk dalam concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, maka majelis hakim mengacu pada Pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat. Untuk sistemnya, majelis hakim menggunakan sistem kumulasi yang diperlunak. Sehingga masa hukuman yang diterima oleh Muh. Aris tidak boleh lebih dari 20 tahun penjara.
3. Dari segi keadilan, hukuman kebiri kimia belum cukup adil jika hak-hak korban belum terpenuhi. Korban juga seharusnya mendapatkan pemulihan atas trauma kekerasan seksual yang telah dialaminya. Maka dari itu selain diberlakukannya kebiri kimia, harus dibarengi dengan rehabilitasi kepada pelaku maupun korban. Dari segi HAM, kebiri kimia jika dilakukan dengan prosedur yang tepat tidak menyalahi HAM. Hal tersebut dikarenakan pelaku hanya mendapatkan reaksi pengobatan dalam jangka waktu 2 tahun. Setelah masa pengobatan kebiri kimia selesai hingga pelaku telah direhabilitasi, pelaku dapat menjalankan kodratnya sebagai laki-laki untuk memiliki keturunan dari pernikahan yang sah menurut hukum. Dari segi kesehatan pelaku, ketika pengebirian kimia diberikan dengan benar, dengan protokol yang sesuai, perawatan [agonis GnRH] merupakan pengobatan yang paling menjanjikan untuk pelanggar seks dengan risiko tinggi kekerasan seksual, seperti pedofil dan pemerkosa berantai. Jadi pengaplikasian kebiri kimia dengan menggunakan agonis GnRH lebih aman dibandingkan dengan penggunaan CPA dan MPA yang memiliki banyak resiko bagi kesehatan pelaku yang telah dikebiri kimia. Penulis dalam hal ini sangat mengharapkan adanya pengkajian ulang dari pemerintah terkait dengan aturan pelaksanaan eksekusi hukuman kebiri kimia selama aturan tersebut belum dikeluarkan secara resmi. Apabila dalam pemberian hukuman kebiri kimia disertai dengan prosedur yang tepat dan meminimalisir segala resiko yang ditimbulkan serta adanya rehabilitasi pelaku maupun korban maka dalam penegakan hukumnya akan mampu memenuhi aspek keadilan, HAM, maupun kesehatan pelaku.

Item Type: Thesis (Undergraduate (S1))
Uncontrolled Keywords: kebiri kimia, kekerasan seksual, pelaku, anak, penegakan hukum
Subjects: 300 Social sciences > 340 Law
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > 74201 - Ilmu Hukum
Depositing User: Ukhtiya Zulfa
Date Deposited: 12 Jun 2021 07:47
Last Modified: 12 Jun 2021 07:47
URI: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/13116

Actions (login required)

View Item
View Item

Downloads

Downloads per month over past year

View more statistics