Kontroversi kepemimpin non-muslim di tengah mayoritas umat Islam sesungguhnya merupakan fenomena klasik yang senantiasa membawa pada perdebatan di kalangan ulama dari masa ke masa. Baik ulama klasik, kontemporer, ulama Indonesia dan juga para Kiai. Menanggapi persoalan ini, sebagian ulama ada yang menganggap bahwa non-muslim tidak boleh diangkat sebagai pemimpin karena sebagian ayat dalam Al-Qur’an secara jelas menyatakan demikian. Di sisi lain, ada pula beberapa ulama yang memandang bahwa esensi perdebatan bukan terletak pada apakah pemimpin harus orang Islam atau bukan, namun yang terpenting adalah bagaimana seorang pemimpin mampu untuk memimpin masyarakat memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang pada dasarnya merupakan perintah Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. Atas dasar itu penulis akan membandingkan penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsīr Al-Miṣbāh dan Sayyid Quṭb dalam Tafsīr Fī Zilalīl Al-Qur’an yang di sesuaikan dengan era milenial.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode analisis perbandingan tetap atau constant comparative method yakni membandingkan penafsiran Tafsiīr Al-Miṣbāh karya M. Quraish Shihab dengan Tafsīr Fī Zilalīl Al-Qur’an karya Sayyid Quṭb mengenai memilih pemimpin non-muslim dalam al-Qur`an. Jenis penelitian ini menggunakan library research (penelitian kepustakaan), yaitu mengambil pada semua jenis data yang berhubungan dengan penelitian baik berupa buku, jurnal, dan bahan-bahan tertulis lainnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, menjelaskan kaum Muslimin yang ingin mengangkat non-muslim menjadi pemimpinnya adalah sah-sah saja atau diperbolehkan selama tidak menimbulkan kerugian. Sedangkan Sayyid Quṭb dalam tafsirnya menentang kepemimpinan non-muslim, karena seorang pemimpin yang beriman kepada Allah akan dapat menuntun rakyatnya menuju keridhaan Allah SWT. Kedua, jika disesuaikan dengan era milenial, menurut M. Quraish Shihab mengangkat pemimpin dari kalangan non-muslim di negara Indonesia ini diperbolehkan selama membawa manfaat, tetapi hendaknya lebih memprioritaskan orang-orang yang beriman. Sedangkan jika penafsiran Sayyid Quṭb ditarik ke masa sekarang, maka kepempinan non-muslim di era milenial tidak dapat disesuaikan. Hal ini dikarenakan pada era milenial masyarakat membutuhkan pemimpin yang mampu beradaptasi dan melakukan perubahan pada era milenial agar tidak terbelakang dan bisa memanfaatkan teknologi dengan baik tanpa melupakan budaya lokal yang tetap harus dilestarikan.