Kontroversi nikah misyār (kajian istinbāṭ hukum ulama’ kontemporer)

Al Mubarok, M. Said (2015) Kontroversi nikah misyār (kajian istinbāṭ hukum ulama’ kontemporer). Masters thesis, UIN Walisongo.

[thumbnail of 125112086_awal.pdf]
Preview
Text
125112086_awal.pdf - Cover Image
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (459kB) | Preview
[thumbnail of 125112086_bab1.pdf]
Preview
Text
125112086_bab1.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (450kB) | Preview
[thumbnail of 125112086_bab2.pdf]
Preview
Text
125112086_bab2.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (585kB) | Preview
[thumbnail of 125112086_bab3.pdf] Text
125112086_bab3.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (397kB)
[thumbnail of 125112086_bab4.pdf] Text
125112086_bab4.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (458kB)
[thumbnail of 125112086_bab5.pdf]
Preview
Text
125112086_bab5.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (56kB) | Preview
[thumbnail of 125112086_bibliografi.pdf]
Preview
Text
125112086_bibliografi.pdf - Bibliography
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (161kB) | Preview
[thumbnail of Plain Text Bibliography] Other (Plain Text Bibliography)
bibliography.txt - Bibliography

Download (9kB)

Abstract

Nikah misyār merupakan istilah yang tidak ditemukan dalam berbagai karya ulama fiqh klasik. Hal ini disebabkan oleh kata misyār merupakan istilah pasaran yang berkembang di sebagian negara Teluk yang mempunyai arti menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama. Kemudian kata misyār digunakan sebagai istilah dalam nikah karena orang melakukan nikah misyār pada umumnya tidak menetap di rumah istri.
Beragam definisi nikah misyār telah dikemukakan oleh ulama kontemporer. Pada intinya nikah misyār adalah pernikahan yang memenuhi syarat dan rukunnya, namun istri merelakan untuk menggugurkan sebagian haknya, yaitu hak untuk mendapatkan nafkah, tempat tinggal dan hak mabīt. Ulama kontemporer berbeda pandangan dalam menentukan hukum nikah misyār, yaitu mubah, mubah tapi makruh, dan tidak membolehkan.
Dalam penelitian ini dibahas permasalahan tentang (1) Bagaimana pandangan dan alasan ulama kontemporer terhadap syarat pengguguran hak nafkah atau hak mabīt yang dilakukan oleh pihak istri sebagaiana yang terdapat dalam nikah misyār?. (2) Bagaimana istinbāṭ hukum ulama’ kontemporer dalam menetapkan status hukum nikah misyār?.(3) Apa yang menjadi sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer dalam menetapkan hukum nikah misyār?
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber data yang digunakan adalah kitab-kitab atau buku karya ulama kontemporer seperti Fatāwā Ulamā’ Balad al-Harām karya Khalid bin Abdurrahman Al Juraisi, Qadhāyā al-Fiqh wa al-Fikri al-Muāṣir karya Wahbah az Zuhaili, dan Mustajiddāt Fiqhiyyah fi Qaḍāyā az-Zawāj wa at-Ṭalāq karya Usamah Bin Umar Sulaiman al-Asyqar. Data-data yang ada dianalisis dengan pendekatan deskriptif-analitis (contens analysis) dan komparatif.
Syarat pengguguran hak nafkah dan hak mabīt dalam nikah misyār menjadi salah satu masalah yang kontroversial. Sebagian ulama kontemporer (Abdul Aziz bin Baz) memandangnya sebagai syarat yang sah (legal), sedangkan sebagian lainnya (Wahbah az-Zuhaili dan Umar Sulaiman al-Asyqar) menilainya sebagai syarat yang tidak sah.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer juga terjadi dalam merespon praktek nikah misyār. Abdul Aziz bin Baz memperbolehkannya, Wahbah az-Zuhaili memperbolehkan tapi dalam status makruh, dan Umar Sulaiman al-Asyqar mengharamkannya. Abdul Aziz bin Baz menggunakan pendekatan istinbāṭ pada aspek kebahasaan dan istiṣlāh, Wahbah az-Zuhaili menggunakan pendekatan ta’līli, dan Umar Sulaiman al-Asyqar menggunakan pendekatan maqāṣid asy-syarīah dengan didukung sad aż-żarīah. Namun dari sad aż-żarīah Wahbah az-Zuhaili memandang bahwa mafsadat yang ditimbulkan dari nikah misyār lebih sedikit dibanding dengan maslahatnya. Sedangkan Umar bin Sulaiman al-Asyqar dengan sad aż-żariah dan didukung dengan konsep an-naẓr ila ma’ālāt al-af’āl (mencermati akibat atau hasil akhir suatu perbuatan) menentukan pendapat bahwa nikah misyār membawa dampak yang negatif. Oleh karena itu, hukum nikah misyār adalah tidak boleh.
Perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh pemahaman dan interpretasi terhadap hadits-hadits yang mendukung pendapatnya masing-masing. Selain itu, perbedaan pandangan juga disebabkan oleh perbedaan metode istinbāṭ hukum yang digunakan.

Item Type: Thesis (Masters)
Uncontrolled Keywords: Nikah misyar; Hukum Islam; Istinbat hukum; Ulama kontemporer
Subjects: 200 Religion (Class here Comparative religion) > 290 Other religions > 297 Islam and religions originating in it > 297.5 Islamic ethics, practice > 297.57 Religious experience, life, practice > 297.577 Marriage and family life
Divisions: Program Pascasarjana > Program Master (S2)
Depositing User: Miswan Miswan
Date Deposited: 27 Nov 2017 07:57
Last Modified: 27 Nov 2017 07:57
URI: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/7513

Actions (login required)

View Item
View Item

Downloads

Downloads per month over past year

View more statistics