Dalam sebuah hadits, Rasulullah melarang tindakan tabattul. Kata tabattul dalam hadits itu dimaknai dengan sebuah tindakan meninggalkan pernikahan agar fokus beribadah kepada Allah SWT. Sehingga Rasulullah melarang perbuatan tersebut. Sementara di dalam al-Qur’an, kata tabattul diartikan dengan beribadah. Dua kasus tersebut menunjukkan bahwa kata tabattul memiliki makna lebih dari satu. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana penafsiran makna tabattul dalam QS. Al-Muzzammil ayat 8 antara al-Thabar dan Ibnu Katsir serta untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan muqaran (perbandingan). Adapun langkah dalam analisis data penelitian ini diawali dengan membandingkan penafsiran QS. Al-Muzzammil ayat 8 oleh al-Ṭabari dan Ibnu Kaṡir, kemudian dipapar secara objektif lalu jelaskan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kata تَبَتَّلْ ditafsirkan oleh al-Ṭabari dengan kata انقطع berarti memotong, memutus dan memisahkan. Dalam menjelaskan makna tabattul, al-Ṭabari mengutip beberapa hadiṡ Nabi SAW. Dari hadiṡ-hadiṡ itu al-Ṭabari memaknai kata تبَتَّلْ dengan kata أخلص, تفرّغ, dan تعَبَّدْ . أخلص berarti tulus, berhati bersih, murni, bebas dari, lepas dari. Maksudnya adalah dalam beribadah kepada Allah SWT ia haruslah terbebas dari perkara yang selain-Nya. تفَرَّغْ berarti mengosongkan diri, mempersembahkan diri, membaktikan diri, mendedikasikan diri. Maksudnya adalah mengosongkan diri dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Danتعَبَّدْ berarti beribadah kepada Allah. Sedangkan dalam kitabnya, Ibnu Kaṡir memaknai QS. Al-Muzzammil ayat 8 dengan memperbanyak berdzikir kepada Allah SWT; meninggalkan hal-hal lain untuk beribadah kepada Allah (انقطع); mengosongkan diri untuk fokus mengabdi hanya kepada Allah (تفَرَّغْ) ketika telah selesai melakukan kesibukan seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Insyirah ayat 7. Ibnu Kaṡir juga menafsirkannya dengan kata أَخْلِصْ yaitu menghilangkan atau membersihkan diri dari segala hal yang dapat mengotori jiwa untuk beribadah kepada Allah. Adapun persamaannya adalah terletak pada corak penafsirannya, yaitu tafsir bi al-ma’ṡur, menggunakan kata yang semakna dalam memahami kata tabattul. Sedangkan perbedaannya adalah dalam pengutipan riwayat. Al-Ṭabari dalam mengutip riwayat cenderung detail dan lengkap dalam menyebutkan rantai sanadnya sementara Ibnu Kaṡir lebih ringkas Selain itu, al-Ṭabari menyebutkan hadiṡ tentang larangan bertabattul dari Nabi SAW, namun ia tidak menjelaskan secara detail maksud hadiṡ tersebut, kemudian al-Ṭabari hidupnya membujang hingga akhir hayatnya. Berbeda dengan al-Ṭabari, Ibnu Kaṡir menyebutkan hadiṡ tentang larangan bertabattul dari Nabi SAW, dan Ibnu Kaṡir mengindahkan larangan tersebut dengan menikah.