Zaman sekarang yang semua lini kehidupan bersifat heterogen menjadikan manusia untuk mampu menerima keberadaan segala sesuatu yang berbeda dengan identitas yang mereka emban. Sikap penerimaan ini menjadi sebuah kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang plural. Perbedaan-perbedaan yang ada merupakan sebuah kodrat yang sudah di takdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sentimen-sentimen terkait perbedaan kerap kali menjadi sumbu untuk menciptakan konflik. Apalagi sentimen yang bermuatan tentang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) ibarat menjadi bumbu terbaik untuk menciptakan konflik. Dialog menjadi sebuah cara untuk menciptakan anti-tesis dari konflik-konflik yang ada. Di negeri Nusantara ini para nenek moyang sudah melakukan dialog dengan model musyawarah untuk merumuskan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang ada.
Di Kota Semarang, terdapat sebuah kegiatan yang mengumpulkan para pemuda dari perwakilan agama dan aliran kepercayaan untuk melaksanakan dialog yang di gagas oleh Persaudaraan Lintas Agama (PELITA). Kegiatan tersebut bernama Peace Camp Pondok Damai. Disini penulis tertarik dengan konsep dialog yang dilakukan Pondok Damai sehingga bisa merangkul para pemuda untuk menarasikan kegundahan mereka terkait dengan agama yang mereka peluk maupun agama orang lain.
Penelitian ini berangkat dari model dialog yang dilakukan dalam pelaksanaan Pondok Damai yang bertujuan untuk menciptakan para pemuda dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk menjadi agen-agen perdamaian dengan mengindahkan keberadaan dari golongan yang berbeda dengannya. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research. Adapun tahapan-tahapan yang digunakan yaitu wawancara, observasi, dokumentasi, dan analisis data. Analisis data yang digunakan yaitu deskriptif analisis. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa masih banyak terdapat pemuda yang sadar akan pentinganya pluralisme dalam kehidupan masyarakat yang heterogen.