Ibadah kurban merupakan salah satu bentuk ibadah sosial sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Dalam aturan berkurban,semua bagian baik itu daging, bulu, kulit,tulang dan bagian lain dari hewan kurban yang dapat dimanfaatkan harus dibagikan atau dishadaqahkan dan tidak boleh untuk diperjualbelikan. Masalah jual beli kulit hewan kurban ini dalam Islam masih diperdebatkan adanya oleh para ulama, tanpa terkecuali oleh mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi. Para ulama madzhab Syafi’i melarang menjual kulit hewan kurban, begitu pula menjadikan kulit hewan kurban untuk upah bagi tukang jagal. Sedangkan ulama madzhab Hanafi membolehkannya dengan beberapa ketentuan. Dari permasalahan yang dijelaskan diatas penulis tertarik perihal bagaimana istinbat hukum Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanafi tentang jual beli kulit hewan kurban? Dan bagaimana perbandingan pendapat Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanafi tentang jual beli kulit hewan kurban?
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Adapun bahan hukum yang menjadi pokok kajian dalam skripsi ini, yaitu Kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzab karya Imam Nawawi dan kitab al-Mabsuth karya Imam as-Sarakhsi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi, kemudian data pokok yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan content analysis dan komparatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa; Pertama, madzhab Syafi’i dalam beristinbath mengenai hukum menjual kulit hewan kurban menggunakan metode bayani serta menggunakan kaidah al-ashlu fi al-kalami al-haqiqoh pada hadis Nabi Saw. riwayat Abu Hurairah, dimana hadis tersebut nabi melarang menjual kulit hewan kurban. Sehingga hukum yang dikeluarkanpun sesuai dengan dzahir hadis tersebut, yaitu melarang menjual kulit hewan kurban. Sedangkan madzhab Hanafi dalam menggali hukum mengenai menjual kulit hewan kurban menggunakan metode istislahi, dimana menurut madzhab Hanafi menjual kulit hewan kurban hukumnya boleh dengan catatan hasil penjualannya disedekahkan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga. Kebolehan tersebut merupakan istihsan, yang lebih mengandung kemaslahatan umat. Kedua, pendapat antara Madzhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi tentang menjual kulit hewan kurban keduanya sangat bertolak belakang. Apabila dikomparasikan dengan memperhatikan pendapat madzhab Syafi’I yang megharamkan menjual kulit hewan kurban dan pendapat madzhab Hanafi yang sedikit melonggarkan dengan memperbolehkan menjual untuk kemudian disedekahkan kepada yang berhak, maka setidaknya perlu ditempuh kebijakan yang lebih elegan dan mengandung kemaslahatan bersama. Sehingga memberi kesan adanya ekstentifikasi tafsir yang jauh lebih bermakna dari maksud yang disyariatkan.