Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku di masyarakat. Anak pelaku pelanggaran Kesusilaan di Muka Umum yang melanggar Pasal 281 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, yang diselesaikan dengan Diversi. Tindak pidana yang dilakukan anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Sehingga membutuhkan aturan khusus sebagai salah satu cara penyelesaian perkara pidana anak yang berhadapan dengan hukum melalui metode pendekatan konsep keadilan Restoratif yaitu diversi yang telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk pendekatan tersebut bertujuan agar anak tidak merasa trauma dalam menghadapi proses hukum.
Jenis pendekatan penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta norma hukum yang berlaku di masyarakat, bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Data tentang Kasus Anak yang melanggar kesusilaan di muka umum di Unit PPA Polres Tegal dan wawancara dengan Unit PPA Polres Tegal, sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah terdiri dari buku-buku, Perundang-undangan, Al-qur’an dan Hadits, Jurnal dan tulisan ilmiah. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi dengan analisis data yang bersifat deskriptif (descriptive analysis).
Hasil dari penelitian ini didasarkan pada kasus kejahatan anak yang semakin meluas yang terjadi di yurisdiksi Polres Tegal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi Diversi terhadap anak pelaku pelanggaran kesusilaan di muka umum di Polres Tegal dan bagaimana analisis Hukum Pidana Islam memandang Diversi terhadap perkara pelanggaran kesusilaan di muka umum yang dilakukan oleh anak, mengingat terdapat perbedaan serta persamaan tentang konsep Diversi. Didalam hukum positif, adanya pembatasan terhadap tindak pidana yang dapat diupayakan diversi yaitu hanya untuk anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, jika ancaman pidananya diatas 7 tahun maka tidak wajib diupayakan diversi di tingkat penyidikan. Sedangkan dalam hukum pidana Islam hampir semua tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak dapat diupayakan dengan menggunakan diversi tanpa memandang tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut, jika dalam hukum islam terdapat dalam konsep al-shulh. Kesesuaian diversi dan al-shulh yaitu mengedepankan penyelesaian perkara secara kekeluargaan, selain itu orientasi al-shulh menggunakan victim oriented, demikian halnya dengan diversi yang ada dalam Undang-Undang sistem peradilan anak. Diversi dan As-Sulh sama-sama sepakat bahwa anak-anak ketika berhadapan dengan hukum tidak harus dikenai pidana, melainkan lebih menekankan kepada pengajaran, pembinaan, dan pelayanan sosial kepada masyarakat.