Sebagai kodifikasi hukum Islam di Indonesia yang bertujuan untuk penyatuan hukum (unifikasi), KHI berusaha memposisikan laki-laki dan perempuan dalam secara sejajar. Sudah banyak bukti yang dapat dijadikan landasan menuju terciptanya struktur sosial yang emansipatoris. Posisi perempuan dalam KHI merupakan cerminan atas keadilan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam relasi keluarga suami-isteri terupayakan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, sehingga dapat terciptanya peraturan yang berkeadilan gender. Namun, dewasa ini KHI mendapat banyak kritikan dari beberpa tokoh feminis karena menurut mereka masih banyak pasal-pasal dalam KHI yang terkesan bias gender. Dari permasalahan yang dijelaskan diatas penulis tertarik mengkaji bagaimana kesesuaian Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam perspektif teori kesetaraan gender Nasaruddin Umar?
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach). Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun yang menjadi pokok kajian dalam skripsi ini, yaitu kompilasi hukum Islam (KHI) dan karya Nasarudin Umar dalam bukunya yang berjudul Argumen kesetaraan jender Perspektif al-Qur’an. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi, kemudian data pokok yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa; Pertama, Kelebihan Nasaruddin Umar dalam mengungkap masalah kesetaraan gender yakni dalam memahami ayat-ayat gender dengan menggunakan metode komprehensif, yakni memadukan antara metode tafsir kontemporer dan metode ilmu-ilmu sosial. Sehingga dapat mengetahui bagaimana al-Qur’an memposisikan laki-laki dan perempuan, baik dari segi substansi maupun dari fungsi dan status. Adapun kelemahan Nasaruddin Umar menyangkut metode analisisnya terhadap teks al-Qur’an mengenai gender belum sepenuhnya bisa dimengerti oleh kalangan awam. Hal ini karena pemikiran Nasaruddin Umar masih bersifat umum, perlu dijelaskan mengenai cara penerapan prinsip-prinsip tersebut dan alangkah baiknya dikaitkan dengan aspek kehidupan terutama mengenai masalah relasi laki-laki dan perempuan. Kedua, Menurut perspektif teori kesetaraan gender Nasaruddin, ketentuan-ketentuan dalam KHI sebagian besar sudah mengandung teori kesetaraan gender tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal KHI seperti pasal-pasal mengenai isbat nikah, persetujuan calon mempelai, perjanjian perkawinan, pencegahan dan pembatalan perkawinan, harta bersama, pemeliharaan anak, perceraian, masa berkabung dan pembagian waris. Akan tetapi di lain masih ada beberapa ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak sesuai dengan teori gender yang dikemukakan Nasaruddin Umar, seperti: pasal yang mengatur tentang saksi perkawinan, poligami, nusyuz, kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan pasal tentang masa ‘iddah. Pasal-pasal tersebut terlihat bias gender dan memperlihatkan budaya patriarki masih mengakar dalam KHI.