Perkawinan merupakan “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berbedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan undang-undang perkawinan No 16 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang No 1 tahun 1974 pada pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun”. Akan tetapi, di masyarakat masih banyak yang tidak menggunakan undang-undang tersebut sebagai patokan dan mereka hanya menggunakan landasan hukum islam. Begitu juga di kalangan Ulama NU mereka berbeda pendapat dalam masalah usia perkawinan yang ditetapkan dalam undang-undang, ada ulama yang sangat setuju dengan undang-undang tersebut bahkan ada juga yang tidak setuju. Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji tentang persepsi ulama NU Blora terhadap batas minimal usia perkawinan dalam UU No 16 tahun 2019 dan mengetahui batas umur minimal menikah dalam hukum islam.
Dalam penelitian ini, menjawab pertanyaan terkait persepsi ulama NU Blora terhadap batas minimal usia perkawinan dalam UU No 16 tahun 2019 dan dasar hukum yang digunakan ulama NU Blora dalam berpendapat mengenai batas minimal usia perkawinan tersebut. Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Data primer diambil dari wawancara penulis dengan ulama NU Blora dan data sekunder bersumber dari buku-buku umum, jurnal, dokumen, dan referensi-referensi lain yang berkaitan dengan seputar usia perkawinan. Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data yaitu dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi sedangkan metode dalam analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif dengan cara reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.
Dari hasil penelitian ini, pertama ulama yang setuju kebanyakan dengan melihat dari segi tujuan undang-undang tersebut diantaranya untuk mendewasakan calon pengantin, untuk menciptakan keluarga yang harmonis, mental bagi seorang mempelai sudah layak dibandingkan usia dibawahnya. Kedua ulama yang tidak setuju terhadap ketetapan undang-undang tersebut dengan alasan pernikahan itu tidak harus menunggu 19 tahun asalkan calon mempelai sudah baligh dan telah memenuhi rukun dan syarat maka sudah di perbolehkan menikah. Ketiga ulama yang moderat atau ulama yang tidak sepenuhnya setuju dan tidak sepenuhnya tidak setuju. Mereka berpendapat bahwa dalam menjalankan undang-undang tersebut harus melihat dari segi madharat dan mashlahatnya atau dengan melihat konteksnya tidak sepenuhnya setuju dan tidak sepenuhnya tidak setuju. Berdasarkan hasil tersebut secara khusus penulis simpulkan bahwa mempersiapkan mental, fisik serta material itu sangat penting karena ketika kita berani menikah maka kita siap bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban kita setelah menikah.