Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya Living Qur’an di dalam tradisi Pembacaan Laqod Ja>’akum yaitu pembacaan rutinan surah at-Taubah ayat 128 – 129 (dua ayat terakhir surah at-Taubah) di pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan, Mijen, Semarang yang dilaksanakan setiap akhir bulan setelah khataman Al-Qur’an. Objek penelitian ini menarik karena tradisi yang dilakukan secara berjamaah ini dilakukan ketika ada hajat-hajat besar terkait pembangunan pesantren yang berbeda dengan tradisi-tradisi lain yang biasanya hanya dibaca secara pribadi selesai sholat maktubah. Bukan hanya sekedar tujuh kali bacaan secara umumnya tetapi besarnya puluhan ribu jumlah pembacaan Laqod Ja’akum yang dihasilkan dari berjamaah dapat menghasilkan makna resepsi yang berbeda. Maka dari itu termasuk kebaruan dari skripsi ini adalah menampilkan tata cara pembacaan Laqod Ja’akum di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang yang berbeda dari ijasah yang diamalkan umumnya di tempat lain termasuk Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Penulis membuat dua rumusan masalah. Pertama, bagaimana gambaran tentang praktik pembacaan Laqod Ja’akum ? Kedua, bagaimana makna perspektif pengasuh dan santri terhadap praktik pembacaan Laqod Ja’akum ? Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah pencarian gambaran praktik pembacaan Laqod Ja’akum dan makna yang dihasilkan dari praktik tersebut. Sebagai metodologi untuk menjawab rumusan masalah ini, penulis menggunakan metode penelitian lapangan dengan mengumpulkan data-data dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian dari data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan pendekatan teori fenomenologi Husserl dan Schutz untuk mengungkap praktik dan makna dari tradisi tersebut.
Hasil dari penelitian ini adalah pertama, motif sebab dari perspektif Pengasuh yaitu adanya praktik pembacaan Laqod Jā’akum di Pesantren Fadhlul Fadhlan dilatarbelakangi oleh motif ijazah dari guru- guru beliau dan diinspirasi oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis. Kedua, motif tujuan pembacaan Laqod Jā’akum adalah agar ilmu menjadi berkah dan bermanfaat, untuk menata akhlak santri, tolak bala’, kecukupan rezeki dan kemudahan dari berbagai sisi. Selanjutnya makna yang dipahami dari pembacaan Laqod Jā’akum perspektif Pengasuh adalah sebagai media wirid, taqarrub kepada Allah dan Rasulullah SAW, sedangkan perspektif santri sebagai wasilah qabul hajat, pemanjang umur, wasilah bertemu dengan Rasulullah SAW, perlindungan diri, dan penenang hati. Adapun makna menurut teori Edmund Husserl : pertama, consciousness yaitu tingkat pemahaman santri terhadap pembacaan Laqod Jā’akum ada yang mendalam dan menjiwai dan ada yang sekadar ikut mengamalkan. Kedua, intensionality terhadap pembacaan Laqod Jā’akum seperti yang semula sekadar amalan berjamaah namun juga dijadikan amalan pribadi. Ketiga natural attitude dari pembacaan Laqod Jā’akum adalah kewajiban yang mengalir menjadi kebiasaan dan bahkan menjadi karakter santri untuk suka berwirid.
Qs. at-Taubah ayat 128 -129; Living Qur’an; Pesantren Fadhlul Fadhlan