Tradisi khataman Al-Quran selama tujuh hari setelah kematian : studi-living-Qur’an melalui pendekatan fenomenologi di Desa Proto Kedungwuni Pekalongan

Albab, Ulil (2021) Tradisi khataman Al-Quran selama tujuh hari setelah kematian : studi-living-Qur’an melalui pendekatan fenomenologi di Desa Proto Kedungwuni Pekalongan. Masters thesis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

[thumbnail of Tesis_1704028020_Ulil_Albab] Text (Tesis_1704028020_Ulil_Albab)
Tesis_1704028020_Ulil_Albab.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (901kB)

Abstract

Tradisi khatmu al-Quran bukanlah hal yang baru, namun bentuk atau praktek khataman lah yang biasanya terus mengalami pembaharuan. Model pembacaan al-Quran yang berlangsung di kalangan masyarakat bervariasi saat ini, ada yang dibaca sendiri dan ada juga yang dibaca oleh beberapa orang bersama-sama atau pun bergantian. Khatmu al-Quran biasa dilaksanakan dalam berbagai momen, termasuk diantaranya ketika terjadi momen kematian. Berbeda dengan model khataman pada daerah yang lain yang diadakan pada hari ketiga, ketujuh, dan empat puluh, tradisi khatmu al-Quran ini dilaksanakan selama tujuh hari setelah terjadi musibah kematian. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan dikombinasikan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Setelah dilakukan penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : Pertama, tradisi khatmu al-Quran selama tujuh hari setelah kematian bermaksud untuk mendo’akan orang yang telah meninggal. Adapun motivasi masyarakat desa Proto untuk mengikuti tradisi ini diantaranya: untuk ijabatut da’wah, mendo’akan orang yang meninggal, nderes atau tadarrus, dorongan materiel. Kedua, persepsi masyarakat terhadap tradisi khataman al-Quran selama tujuh hari setelah kematian ini mereka menganggap bahwa tradisi ini adalah tradisi yang baik dan penuh barokah. Persepsi ini muncul dari berbagai macam pemaknaan masyarakat terhadap tradisi ini. Pemaknaan itu bisa dibagi menjadi 4 makna : (1) Makna religus, yakni sebagai sarana muroja’ah, sarana Biru al Walidain, dan sarana mengingat kematian. (2) Makna sosial, yakni sebagai sarana silaturahim dan saran bershodaqoh. (3) Makna tarbiyah, yakni sebagai sarana mengajarkan orang untuk gemar bershodaqoh dan syiar mengal-Qurankan masyarakat. (4) Makna material, yakni sebagai sarana untuk mendapatkan makanan gratis dan juga memperoleh bingkisan.

ABSTRACT
The tradition of khatmu al-Quran is actually not a New tradition. However, the implementation and the form are always changing. The changing includes The models of reading the Koran. Nowadays, the models of reading that can be found in the community are various. Some of them read alone and some read by several people together or alternately. Khatmu al-Quran is usually carried out in various moments, including when there is a moment of death. Unlike the khataman model in other areas which is held on the third, seventh, and forty days, the tradition of khatmu al-Quran is carried out for seven days after the accident of death. The method used in this study was a qualitative method which combined with field research. The sources of data that were used by the author were in the form of primary and secondary data sources. They consisted of informants, documents and scientific works as well as some previous studies. The approach in this research was the phenomenology. After conducting research, analyzing and conducting an in-depth study of this tradition, the following conclusions could be drawn: First, the tradition of completing the Koran for seven days after death intended to pray for the deceased. The motivations of the people of Proto village to follow this tradition included: for ijabatut da'wah, praying for the dead, nderes or tadarrus, and material encouragement. Second, the public's perception of the tradition of completing the Quran for seven days after death was that they assumed that this tradition was a good and blessed tradition. This perception arised from various kinds of community meanings of this tradition. From the meaning of the community that we got, the meaning could be divided into four meanings: (1) The religious meaning, as a means of murojah, a means of Birr al Walidain, and a means of remembering death. (2) Social meaning, as means of friendship and suggestions for shodaqoh. (3) The meaning of tarbiyah, as means to teach people to love to do charity and to symbolize the Koran in society. (4) Material meaning, as means to get free food and also to get gifts.

Item Type: Thesis (Masters)
Uncontrolled Keywords: Tradisi; Khataman Al-Quran; Tujuh hari; Kematian; Studi living Qur’an; Fenomenologi
Subjects: 200 Religion (Class here Comparative religion) > 290 Other religions > 297 Islam and religions originating in it > 297.1 Sources of Islam > 297.12 Al-Quran and Hadith > 297.122 Al-Quran > 297.1226 Interpretation and Criticism
Divisions: Program Pascasarjana > Program Master (S2) > 76131 - Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (S2)
Depositing User: Miswan Miswan
Date Deposited: 16 Feb 2023 06:46
Last Modified: 16 Feb 2023 06:46
URI: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/19187

Actions (login required)

View Item
View Item

Downloads

Downloads per month over past year

View more statistics