Upaya untuk menghidupkan hukum Islam (sharī’ah, fiqh) telah dilakukan sepanjang masa. Tujuannya tidak lain yaitu untuk merealisasikan keluwesan yang diembannya. Hukum Islam senantiasa patut, pantas, dan luwes untuk setiap ruang, waktu, situasi, dan kondisi (Islām ṣāliḥ li kulli zamān wa makān). Keluwesan tersebut tampak dari indikator utamanya, yaitu ia dapat -minimal-merespon setiap problematika yang selalu berkembang setiap saat. Kegiatan ijtihad dalam hal ini menemukan urgensitasnya. Ijtihad, dalam salah satu definisinya, dimaknai secara terbatas hanya pada bidang hukum saja. Mengamini pendapat Yūsūf al-Qarḍawī bahwa lapangan ijtihad telah mengalami perluasan makna dan bentuk. Jika awalnya hanya berupa qānūn dan fatwā, maka penelitian dan karya ilmiah ia masukkan sebagai bagian dari proses ijtihad, baik dilakukan secara individu (fardī) maupun kolektif (jamā’ī). Salah satu bagian penting dari proses ijtihad yaitu istinbāṭ yang dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu kebahasaan (lughāwī) dan substansi (maqāṣid al-sharī’ah). Pendekatan yang kedua tersebut pada kenyataannya lebih digandrungi oleh para pemikir kekinian. Fazlur Raḥmān, Muḥammad Shahrūr, Abdullāh Saeed, dan Jasser Auda merupakan sedikit contoh dari tokoh kontemporer yang menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan tersebut.