Meskipun pada akhir Tahun 2019 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki gerakan bertajuk “Jo Kawin Bocah”, namun pada masa Pandemi COVID 19 angka perkawinan anak di Jawa Tengah naik secara tajam. Angka tertinggi berada di Kabupaten Cilacap dengan 1.019 kasus, disusul Kabupaten Brebes dengan 797 kasus. Sedangkan dua kota dengan angka perkawinan anak terendah yaitu Kota Magelang dengan 35 kasus dan Kota Salatiga 40 kasus. Di Indonesia yang religius ini, peran ulama dan tokoh agama memegang peranan strategis, termasuk dalam upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Di sinilah perlunya penelitian bagaimana peran Organisasi Keagamaan (LKKNU dan atau Fatayat serta Nasyiatul Aisyiyah dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak) di dua Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan angka perkawinan anak tertinggi dan terendah? Bagaimana relevansi keberadaan Organisasi Keagamaan tersebut dengan tinggi-rendahnya angka perkawinan anak? Jenis penelitian ini kualitatif. Tehnik pengumpulan datanya dengan wawancara dan dokumentasi. Informannya adalah pengurus Organisasi Keagamaan, yaitu: LKKNU, Fatayat, Nasyiatul Aisyiyah, dan pimpinan Dinas/Badan PP PA/PP PA&KB tingkat Provinsi Jawa Tengah dan 2 Kabupaten/Kota dengan kasus angka perkawinan anak tertinggi dan terendah. Data dianalisis dengan Teori Peran dan Otoritas Pemimpin Agama dengan menggunakan content analysis (analisis isi), yakni dengan menginventarisir data, mengsimplifikasikan, kemudian menggeneralisasikannya. Data hasil analisis kemudian disimpulkan melalui penalaran induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) keberadaan Organisasi Keagamaan yang menjadi lokasi penelitian belum memiliki peran signifikan dalam pencegahan dan penanganan kasus perkawinan anak di Jawa Tengah. Penyebabnya: (a). Periode waktu meningkatnya angka perkawinan anak bersamaan dengan terjadinya Pandemi COVID 19 yang “memaksa” Organisasi Keagamaan vacum dan pasif dalam kegiatan; (b). Kondisi organisasi dan pengurusnya “masih usia jagung” (kasus beberapa LKKNU); (c). Organisasi Keagamaan sama sekali tidak memiliki Program Kerja eksplisit berupa pencegahan dan penanganan perkawinan anak; (d). Organisasi Keagamaan lebih bersifat pasif menunggu “digandeng”, bukan pro aktif “menggandeng” stakeholders yang tugas pokok dan fungsinya terkait pencegahan dan penanganan perkawinan anak. 2.a. Keberadaan Organisasi Keagamaan tidak memiliki relevansi dengan tinggirendahnya angka perkawinan anak di Jawa Tengah yang lebih disebabkan faktor: (a). Luas-sempitnya wilayah dan banyaksedikitnya jumlah penduduk di wilayah Kabupaten/Kota tersebut; (b). Tinggi-rendahnya tingkat pendidikan mayoritas penduduknya di Kabupaten/Kota tersebut; (c). Secara sosiologis, adanya perbedaan wilayah kota-desa. Masyarakat kota cenderung lebih rasionalis dibandingkan masyarakat desa yang primordialis-tradisionalis. 2.b. Keberadaan tokoh agama masih dipandang memiliki otoritas di tengah masyarakat guna mendukung kesuksesan program pencegahan dan penanganan perkawinan anak.