Musibah dan bencana alam sangat erat kaitannya dengan hukum kausalitas (pengabaian perintah dan larangan Tuhan). Dari sisi teologis, idealitas ini dipandang tak seimbang dengan banyaknya fenomena bencana yang terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya yang muslim dan beriman serta dalam keadaan rajin melaksanakan ritual ibadah setiap harinya. Dalam Al-Qur’an, fenomena bencana alam terjadi pada kisah banjir besar yang menimpa Nabi Nuh AS dan umatnya yang dijelaskan dalam QS. Al-Qamar [54]: 9-17. Adapun dari sekian banyaknya penafsiran para mufassir terdahulu mengenai kisah ini, kebanyakan dari mereka melihatnya dengan pemahaman yang cenderung teologis, bahkan apatis (pasrah dengan situasi). Maka tafsīr maqᾱṣidī sebagai kajian teori dalam penelitian ini menduduki posisi yang dinilai relevan untuk melihat QS. Al-Qamar [54]: 9-17 dengan pemahaman yang berbeda, sehingga dapat menggeser persepsi masyarakat yang cenderung pesimis menjadi lebih dinamis-optimis dalam memaknai bencana terutama banjir.
Dari kesenjangan di atas, tulisan ini menyajikan penjabaran terkait bagaimana penafsiran kisah banjir masa Nabi Nuh dalam QS. Al-Qamar [54]: 9-17 serta bagaimana makna dan hikmah dalam QS. Al-Qamar [54]: 9-17 perspektif tafsīr maqᾱṣidī Abdul Mustaqim. Dengan mengambil objek kajian utama pada QS Al-Qamar [54]: 9-17 yang dianggap lebih runtut, ringkas, dan sistematis dari ayat lain, diharapkan mampu mencapai tujuan masalah terkait penafsiran Al-Qamar: 9-17 dalam kisah banjir Nabi Nuh serta meninjau makna dan hikmahnya dengan perspektif tafsīr maqᾱṣidī Abdul Mustaqim.
Jenis penelitian ini kualitatif yang bersifat library research, dan merujuk pada data-data yang bersumber dari kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer, dan lokal. Penelitian ini menggunakan metode tematik dengan analisis menggunakan sudut pandang tafsīr maqᾱṣidī melalui beberapa tahapan, yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema pembahasan, menyajikan dan mengkaji penafsirannya, memilih aspek sarana dan tujuannya (maqāsid), sampai diperoleh suatu kesimpulan yang komprehensif.
Setelah menelisik penafsiran para mufasir dan melalui analisis dengan penerapan tafsīr maqᾱṣidī, menghasilkan kesimpulan bahwa pertama, keselamatan peradaban manusia adalah tujuan utama ditimpakannya banjir. Bencana ini merupakan anugerah berbentuk peringatan atas perbuatan manusia, namun bagi mereka yang tidak mau sadar, bencana selalu dikaitkan dengan murka Allah yang merugikan dan seringkali dijadikan bahan saling menyalahkan atas keburukan masyarakat sekitar yang terdampak. Kedua, ditemukan adanya nilai-nilai kemaslahatan (fundamental of maqᾱṣid) dan aspek-aspek maqᾱṣidi yang terkandung di dalam narasi kisah banjir pada masa Nabi Nuh berupa ḥifż al-nafs, ḥifż al-‘aql, ḥifż al-dīn, ḥifż al-nasl, ḥifż al-dawlah, dan ḥifż al-bi’ah. Adapun maqᾱṣid Allah menimpakan bencana ini adalah untuk keselamatan dan ketenteraman seluruh umat. Sedangkan waṣilah (jalan menuju pada ghoyah) dari penafsiran QS. Al-Qamar [54]: 9-17 adalah menebalkan keimanan dengan meminimalisir segala bentuk kemaksiatan.