Dalam bahtera rumah tangga tidaklah sesalu berjalan mulus, ada kemungkinan perkawinan yang diharapkan selamanya justru berakhir perceraian, untuk itu sebagai antisipasi perkawinan harus disiapkan sematang mungkin, salah satu bentuk antisipasinya yaitu perjanjian perkawinan, perjanjiaan perkawinan dapat dijadikan sarana hukum untuk menjaga dan melindungi hak suami istri agar dapat berjalan baik selama perkawinan berlangsung. Namun dimata masyarakat perjanjian perkawinan merupakan hal yang tabu dan diangap sebagai bentuk ketidak percayaan terhadap pasangan. Di Indonesia ada 3 peraturan yang mengatur perjanjian perkawinan yakni KHI, KUHPer, Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, dari tiga peraturan tersebut berbeda-beda mengenai peraturan perjanjian perkawinan. Dalam agama Islam, ada tujuan yang dikehendaki oleh hukum Islam disebut maqasid al-syari’ah. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perjanjian perkawinan dalam perspektif hukum Positif dan maqasid al-syari’ah.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis. Sumber data dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder yang faktual dan dapat dipertanggung jawabkan dalam memecahkan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Yaitu Kompilasi Hukum Islam dan al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah li Abi Ishaq Al-Syatibi
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan: Pertama, dalam Dalam Kompilasi Hukum Islam perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 52 Kompilasi Hukum Islam. Bentuk perjanjian perkawinan perkawinan terbagi menjadi dua yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan dengan hukum Islam. Taklik talak diucapkan oleh mempelai pria setelah dilangsungkanya akad, hal tersebut bukan sesuatu yang wajib dibacakan dalam rangkaian perkawinan namun sekali taklik talak diucapkan tidak dapat dicabut kembali, taklik talak tersebut merupakan pegangan bagi istri bilamana kemudian hari suami melanggar isi dari perjanjian tersebut maka istri berhak menjadikanya dasar untuk mengajukan gugatan cerai. Kedua, Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat dan Perjanjian perkawinan di kategorikan sebagai kemaslahatan hajiyat, pengertian mas}lahah hajiyat sendiri yaitu segala kebutuhan manusia dalam memperoleh kelapangan hidup dan menghindarkan diri dari kesulitan (musyaqqat). Jika kedua kebutuhan ini tidak terpenuhi, manusia pasti akan mengalami kesulitan dalam hidupnya meskipun kemashlahatan umum tidak menjadi rusak. Dengan adanya perjanjian perkawinan akan memudahkan dalam kehidupan berumah tangga baik suami maupun istri.