Penelitian ini dilatarbelakangi adanya pembebanan nafkah ‘iddah dan mut’ah pada perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Banyumas putusan Nomor 1550/Pdt.G/2020/PA.Bms. Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang akibat dari cerai talak dan cerai gugat, dan Pasal 149 KHI mengatur tentang akibat putusnya perkawinan karena cerai talak. Isteri yang menggugat cerai suaminya seharusnya dapat menggugurkan hak-haknya mendatang, seperti nafkah ‘iddah dan mut’ah. Namun dalam putusan Pengadilan Agama Banyumas Nomor Perkara 1550/Pdt.G/2020/PA.Bms, dalam perkara cerai gugat hakim mengabulkan gugatan cerai penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sugra tergugat terhadap penggugat dengan membebankan nafkah ‘iddah dan mut’ah kepada tergugat (mantan suami). Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus pembebanan nafkah ‘iddah dan mut’ah (2) mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan hak dan kewajiban dalam perkara cerai gugat putusan Nomor 1550/Pdt.G/2020/PA.Bms. dan tinjauan maṣlaḥah dalam putusan tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif, yang diarahkan pada bahan-bahan pustaka dengan pendekatan yuridis doctrinal. Penulis mengambil sumber data sekunder yang meliputi publikasi hukum atau bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam metode pengumpulan data, penulis melakukan pencarian bahan hukum berupa wawancara, buku, jurnal, skripsi, dan berkas lainnya. Sedangkan pada analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menganalisis isi putusan yang ditetapkan hakim.
Hasil penelitian adalah bahwasanya pertimbangan majelis hakim dalam memutus pembebanan nafkah ‘iddah dan mut’ah berdasarkan Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 149 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam dan SEMA No. 03 Tahun 2018. Adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 sebagai rujukan bahwasanya nafkah ‘iddah dan mut’ah dapat diberikan sepanjang isteri tidak berbuat nusyuz. Penetapan nafkah ‘iddah dan mut’ah ditinjau dari perspektif maṣlaḥah sesuai maṣlaḥah hajiyyah bahwasanya pemberian nafkah ‘iddah dan mut’ah ini adalah bertujuan untuk menjaga kehormatan isteri, menyenangkan hati mereka dan untuk memenuhi kebutuhan hidup seterusnya, sehingga isteri tidak menderita ketika ditinggal oleh mantan suaminya. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip maṣlaḥah, karena pada prinsipnya sesuatu yang dianggap maṣlaḥah harus benar-benar mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan. Terkait dengan pertimbangan yang digunakan oleh hakim dengan mengabulkan gugatan nafkah ‘iddah dan mut’ah yang diberikan kepada isteri telah sesuai dengan prinsip maṣlaḥah yang sejalan dengan tujuan syara’ seperti menjaga agama (dīn), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasab), dan harta (māl).