Perjanjian perkawinan pada umumnya dikenal dengan konsep perjanjian pra-nikah yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan sebagaimana pasal 29 undang-undang perkawinan. Namun Putusan Nomor 673/Pdt G/2022/PA.Amb perjanjian perkawinan dibuat dalam iktan perkawinan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif-empiris. Dimana penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, artinya penulis mendeskripsikan bagaimana pembagian harta bersama perspektif hukum Islam dan Hukum Positif dengan menggunakan analisis Putusan Nomor 673/Pdt G/2022/PA.Amb Kemudian membandingkan hasil analisis tersebut kedalam Hukum Islam dan Hukum Positif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan (analisis Putusan Nomor 673/Pdt G/2022/PA.Amb) harta tersebut pada umumnya harus dikembalikan kepada penggugat karena merupakan harta bawaan. Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35 dan pasal 29 tentang pembagian harta gono-gini yang memiliki surat perjanjian maka dengan adanya surat perjanjian tersebut meskipun harta bawaan, penggugat tidak dapat memintanya kembali. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam memutuskan perkara tersebut adalah dengan berlandaskan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1320. Namun majelis Hakim mempertimbangkan bahwa ketika harta bawaan tersebut didalam kesepakatan diberikan kepada tergugat maka penggugat berkewajiban untuk menepati apa yang sudah dijanjikan. Skripsi ini hanya menguatkan dasar-dasar hakim dalam putusannya.