Salah satu peristiwa hukum yang timbul akibat kematian ialah kewarisan, ia berpindah dari pewaris kepada ahli waris yang dalam pedoman warisnya dari sisi jenis kelamin terbagi menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Hal tersebut menjadi masalah ketika ahli waris merupakan transgender. Skripsi ini menganalisis bagian seorang transgender berposisi sebagai ahli waris dalam perspektif hukum Islam, hukum Positif, hukum Adat dan asas keadilan.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan jenis penelitian empiris normatif non-doktrinal. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan sosiologis dan ilmu pengetahuan tentang waris dalam hukum Islam, hukum positif dan hukum adat. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan individu transgender di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan isu pembagian waris dan identitas gender dan disajikan dengan metode deskriptif.
Penelitian ini menyimpulkan dua. Pertama, transgender dalam hukum Islam mendapatkan waris sesuai jenis kelamin saat dilahirkan, secara hukum Positif laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan sama dalam memperoleh warisan dan secara hukum Adat masyarakat parental baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan sama sebagai ahli waris. Kedua, status ahli waris transgender tetap mendapatkan waris dengan bagian laki-laki ataupun perempuan sesuai dengan hasil medis. Adapun jika hasil medis tidak dapat diketahui maka transgender tetap mendapat bagian waris, namun dengan bagian paling jelek atau terkecil.