Pemikiran Al-Gazālī dan Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia

Casrameko, Casrameko (2023) Pemikiran Al-Gazālī dan Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia. Dr/PhD thesis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

[thumbnail of Disertasi_1600039053_Casrameko] Text (Disertasi_1600039053_Casrameko)
Disertasi_1600039053_Casrameko.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (2MB)

Abstract

Pembelajaran mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk sikap dan pola pikir peserta didik sebagai generasi penerus. Akhlak merupakan landasan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu menciptakan masyarakat berakhlak mulia, berbudaya, bermoral, beretika, dan beradab berlandaskan falsafah Pancasila. Penulis meneliti figur klasik yaitu Al-Gazālī yang mengfokuskan penelitiannya pada pendidikan akhlak dengan pisau analisis sufistik dan Ibnu Miskawaih yang meneliti pendidikan akhlak dengan pisau analisis filasafat akhlaknya. Penelitian ini bertujuan untuk membahas (1) bagaimana pemikiran Ibnu Miskawaih dan Al-Gazālī tentang pendidikan akhlak, dan (2) bagaimana relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih dan Al-Gazālī mengenai pendidikan akhlak dengan pendidikan karakter di Indonesia.
Penelitian ini termasuk penelitian pustaka dengan pendekatan filsafat dan menggunakan metode analisis deskritif dan analisis isi. Berdasarkan penelitian ini, manusia mempunyai tiga daya yaitu daya berfikir, daya amarah, dan daya keingginan. Keselarasan ketiga daya tersebut yang mengacu pada akal dan syara’ akan menciptakan perbuatan-perbuatan akhlak yang terpuji yaitu kebijaksaan (الحكمة), menjaga kesucian diri (العفة), keberanian (الشجاعة), dan keadilan (العدل). Ibnu Miskawaih dan Al-Gazālī mengungkapkan teori jalan tengah antara ekstrim kekurangan (التفريط) dan ekstrim kelebihan (الإفراط) untuk memperoleh akhlak yang mulia. Al-Gazālī dengan mujāhadah dan riyād̩ah, sedangkan Ibnu Miskawaih dengan kebiasan berlatih dan menahan diri (al-‘Ādat wa al-Jihād), serta dengan menjadikan interaksi dengan orang lain sebagai cermin bagi dirinya digunakan sebagai metode pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih lebih mengedepakan akal dan Al-Gazālī lebih mengedepankan padangan sufinya dalam penentuan nilai etik. Hal ini menyebabkan pola pandang yang berbeda dimana Al-Gazālī menggunakan jalan asketik untuk memperoleh kesempurnaan diri, sedangkan Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kesempurnaan diri bisa diperoleh dengan berinteraksi dengan orang lain. Konsep kesempurnaan diri juga tersirat dalam kandungan pendidikan karakter yang dipraktekkan di Indonesia dapat ditinjau Permendikbud No 20 Tahun 2018 pasal 2 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK),walaupun tidak mengisyaratkan kesamaan dengan konsep Ibnu Miskawaih dan Al-Gazālī secara jelas tentang konsep manusia yang sempurna, tetapi secara isi memiliki kesamaan maksud dan tujuan.
Saran dari peneliti untuk mewujudkan Pendidikan Akhlak atau pendidikan Karakter yang baik di Indonesia harus mengoptimalkan dua peran. Pertama, mengoptimalkan peran orang tua dalam institusi keluarga.Orang tua dituntut untuk mengoptimalkan peran dan fungsi institusi keluarga. Pendidikan akhlak dan karakter harus dimulai dari keluarga sebagai pilar utama. Keluarga telah menjadi sebuah institusi paling kecil yang pernah ada di dunia ini. Tetapi, sungguh pun begitu, ia mempunyai fungsi yang sangat urgen dalam membangun karakter bangsa. ada empat fungsi institusi keluarga yang perlu dioptimalkan, yaitu fungsi spiritual, intelektual, sosial, dan dakwah. Kedua, mengoptimalkan peran guru dalam institusi sekolah. Guru memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam pendidikan akhlak dan pendidikan karakater. Guru harus mengiptimalkan perannya sebagai muallim (pengajar), murabbi (pengasuh), muaddib (pendidik), dan mursyid (pembimbing). Dengan memainkan empat peran ini, guru benar-benar menjadi pribadi yang digugu dan ditiru oleh anak didiknya.

ABSTRACT:
Learning has a very big contribution in shaping the attitude and mindset of students as the next generation. Morals are the basis for achieving the goals of national education, namely creating a noble, moral, ethical, cultural, and civilized society based on the Pancasila philosophy. The author examines classical figures, namely al-Ghozali, who focuses his research on moral education with a Sufistic analysis knife, and Ibnu Miskawaih, who examines moral education with his moral philosophy analysis knife. This study aims to discuss (1) what are the thoughts of Ibnu Miskawaih and Al-Gazālī about moral education, and (2) how relevant the thoughts of Ibnu Miskawaih and Al-Gazālī regarding moral education and character education are in Indonesia.
This research includes literature research with a philosophical approach and uses descriptive analysis and content analysis methods. Based on this research, humans have three powers: the power of thinking, the power of anger, and the power of desire. The harmony of these three forces that refer to reason and syara' will create commendable moral deeds, namely wisdom (الحكمة), maintaining self-purity (العفة), courage (الشجاعة), and justice (العدل). Ibnu Miskawaih and Al-Gazālī revealed the theory of a middle way between extremes of deprivation (التفريط) and extremes of excess (الإفراط) to obtain noble morals. Al-Gazālī with mujāhadah and riyād̩ah, while Ibnu Miskawaih with a sincere will to practice continuously and restrain himself (al-'Ādat wa al-Jihād), as well as making interactions with other people a mirror for himself, can be used as a method of moral education. Ibn Miskawaih put forward reason more, and Al-Gazālī put forward his Sufi views in determining ethical values. This causes a different perspective where Al-Gazālī uses the ascetic path to gain self-perfection, while Ibn Miskawaih says that self-perfection can be obtained by interacting with others. The concept of self-perfection is also contained in the view of character education applied in Indonesia, which can be seen in Permendikbud No. 20 of 2018 and Article 2 concerning Strengthening Character Education (PPK), although it does not describe similarities with the views of Ibnu Miskawaih and Al-Gazālī explicitly regarding the ideal human concept but substantially has the same aims and objectives.
Suggestions from researchers to realize good Moral Education or Character education in Indonesia must optimize two roles. First, optimizing the role of parents in family institutions. Parents are required to optimize the role and function of family institutions. Moral and character education must start from the family as the main pillar. The family has become the smallest institution that has ever existed in this world. However, even so, it has a very urgent function in building national character. There are four functions of family institutions that need to be optimized, namely spiritual, intellectual, social, and da'wah functions. Second, optimizing the teacher's role in school institutions. The teacher has a very strategic role and function in moral education and character education. Teachers must optimize their roles as muallim (teaching), murabbi (caretaker), muaddib (educator), and mursyid (guidance). By playing these four roles, the teacher really becomes a person that his students look up to and emulate.

Item Type: Thesis (Dr/PhD)
Uncontrolled Keywords: Pemikiran; Ibnu Miskawaih; Al-Gazālī; Pendidikan akhlak; Pendidikan karakter
Subjects: 200 Religion (Class here Comparative religion) > 290 Other religions > 297 Islam and religions originating in it > 297.7 Propagation of Islam > 297.77 Islamic religious education
Divisions: Program Pascasarjana > Program Doktor (S3) > 76003 - Studi Islam (S3)
Depositing User: Miswan Miswan
Date Deposited: 19 Nov 2024 01:53
Last Modified: 19 Nov 2024 01:53
URI: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/25172

Actions (login required)

View Item
View Item

Downloads

Downloads per month over past year

View more statistics