Hubungan dinamis antara pesantren dan teknologi digital telah mendorong munculnya metode pembelajaran baru secara hybrid, menggabungkan antara real space dan virtual space yang dikenal dengan istilah ‘Ngaji Online’. Konteks hybrid ini memunculkan ruang ketiga (the third spaces) sebagai bagian dari maintenance of Islamic tradition. Studi ini mengkaji bagaimana transformasi tradisi intelektual pesantren dimediasi secara digital, menekankan pada inti tradisi pembelajaran Islam yang tidak berubah dengan mengadaptasikan kreatifitas digital. Penelitian ini mencoba memetakan bagaimana diversifikasi konten Ngaji Online, menganalisa motif pemilihan media yang digunakan, serta bagaimana dampaknya terhadap Tradisi Kajian Kitab Kuning, Kiai, dan santri sebagai unsur-unsur pesantren.
Penelitian ini menggunakan metode netnografi dengan berfokus pada analisa media PP Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah. Phyton digunakan sebagai alat untuk crawling dan analisis data utama berupa 2038 video dari platform YouTube @GusMusChannel. Data kemudian dilakukan koding dan analisis data mining berupa audio-visual, gambar, serta chat komentar yang diambil dari media sosial pesantren dan dikombinasikan dengan wawancara mendalam. Analisis dilakukan dengan menggunakan kerangka teori Digital Religion Heidi A Campbell.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Peta diversifikasi kajian kitab kuning secara hybrid berupa kitab Hadits, Tafsir, Akhlak, Tasawuf, dan lainya dengan tema Hadist yang paling banyak disajikan. YouTube menjadi media utama transformasi berdasarkan motif preferensi pengguna, motif prime time, serta motif diversifikasi konten. Ketiga, penggunaan YouTube pada kajian Kitab Kuning menjadi habitus baru yang turut merubah tradisi, identitas, dan otoritas unsur-unsur pesantren. Keterlibatan aktif di media sosial menjadikan peran Kiai bertransformasi dari cultural broker menjadi cultural shaper, serta membentuk identitas tradisional dan modern-digital sekaligus yang merepresentasikan identitas hibrida.

ABSTRACT:
The dynamic relationship between pesantren and digital The dynamic relationship between pesantren and digital technology has encouraged new hybrid learning methods, combining real and virtual spaces known as 'Ngaji Online'. This hybrid creates the third space as part of maintaining Islamic tradition. This study examines how the transformation of pesantren intellectual traditions is digitally mediated, emphasizing the unchanging core of Islamic learning traditions by adapting digital creativity. This study tries to map the diversification of Ngaji Online content, analyze the motives for choosing the media used, and how it impacts the Yellow Islamic Book (Kitab Kuning) learning tradition, Kiai, and Santri as elements of pesantren.
This research employs a netnographic methodology, focused on media analysis of PP Raudlatut Thalibin Rembang, Central Java. Phyton is utilized as a tool for crawling and analyzing the main data, which consists of 2038 videos from the YouTube channel @GusMusChannel. Data was coded and examined using data mining techniques, including audio-visual, image, and comment threads chat remarks gleaned from pesantren social media and integrated with in-depth interviews. The analysis was conducted using Heidi A Campbell's Digital Religion theory.
Findings reveal that Ngaji Online by Gus Mus emphasizes core Islamic themes like Hadith, Tafseer, Morals, Sufism, and others, among which the most frequently studied books are Hadith. The motive behind the selection of the book is related to the virtue of understanding hadith and his love for poetry. Second, YouTube has become the main media for transformation based on the motive of user preference, prime time, and content diversification. Third, using YouTube in the Kitab Kuning study has become a new habitus that has changed pesantren elements’ traditions, identities, and authority. Active social media involvement transforms Kiai's role from cultural broker to cultural shaper. It forms a traditional and modern digital identity at the same time which represents a hybrid identity. The analysis was conducted using Heidi Campbell's Digital Religion theory.