Bagi kalangan diaspora, menjadi Muslim di Eropa tidaklah semudah ketika berada di Indonesia. Sarana, infrastruktur dan sistem tata nilai tidak sepenuhnya mendukung seorang Muslim untuk bisa menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Tidak ada sarana peribadatan yang tersedia di ruang-ruang publik seperti stasiun kereta api, terminal bus, metro dan trem. Sehingga menjadi Muslim di Eropa membutuhkan tekad yang kuat.
Bagi kalangan diaspora Muslim yang sudah dewasa tentu tidak jadi masalah untuk tetap menjadi Muslim yang baik. Hal ini karena mereka telah memiliki pondasi identitas keagamaan yang kuat. Persoalannya terletak pada kelompok millennial diaspora Muslim Indonesia, di mana pada satu sisi mereka belum memiliki pondasi keagamaan yang kuat, sementara mereka harus bersentuhan langsung dengan sistem tata nilai yang dianut oleh masyarakat Eropa yang tentu sangat jauh berbeda.
Buku ini mengupas bagaimana pembentukan identitas keagamaan kelompok milenial diaspora Muslim Indonesia di Eropa, khususnya di Belanda, dalam konteks persentuhan dengan nilai-nilai dan tradisi Barat. Kajian ini berdasarkan dari peneltian yang telah dilaksanakan di Amsterdam, Den Haag, Leiden, Utrecht, Nijmegen dan Rotterdam.