Memiliki predikat sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang terbilang masif dalam pembangunan dan penataan kota. Akan tetapi kegiatan pembangunan tersebut kerap menjadikan warga sebagai korbannya. Untuk menciptakan tata ruang yang teratur, mau tidak mau praktik penggusuran mesti ditempuh Pemerintah Kota Semarang demi menjaga martabat dan keasrian lingkungan yang lebih tertata. Oleh karenanya, isu penggusuran menjadi salah satu masalah untuk dikaji. Dinamika penggusuran seringkali diwarnai dengan ketidaksepahaman antara pemerintah dengan warganya. Titik temu antar keduanya kerapkali tidak berujung pada negoisasi berhasil, maka wajar bila kebanyakan kasus penggusuran berjalan kontradiktif. Hal ini dapat kita lihat dari beragamnya bentuk konflik kekuasaan vertikal antar dua kutub yaitu pemerintah dan warganya, baik yang sifatnya dipermukaan maupun resistensi dibelakang. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana relasi kekuasaan kebijakan tata ruang permukiman antara warga Tambakrejo dengan Pemerintah Kota Semarang, bagaimana implikasi kebijakan normalisasi sungai Banjir Kanal Timur bagi warga Tambakrejo.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dengan tujuan untuk menggambarkan fenomena, dan menganalisis fakta lapangan yang dikaitkan dengan teori. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan kajian pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi kekuasaan kebijakan tata ruang permukiman antara warga Tambakrejo dengan Pemerintah Kota Semarang menemukan titik temu antara kedua belah pihak. Warga Tambakrejo memilih bertahan di Kalimati bekas Kalibanger sampai tempat tinggal mereka selesai dibangun, sedangkan Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perumahan dan Permukiman bersedia akan membangun tempat tinggal warga Tambakrejo berupa rumah deret dekat dengan tempat saat ini yang posisinya dekat dengan laut agar warga Tambakrejo yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan kecil bisa melaut. Selain itu, di dalam site plan pemerintah Kota Semarang, normalisasi ini bukan hanya bertujuan untuk mengatasi banjir namun berfungsi sebagai fasilitas umum dan wisata air.

ABSTRACT:
Having the title as the Capital of the Province of Central Java, Semarang City is fairly massive in the development and arrangement of the city. However, these development activities often make residents as victims. To create an organized spatial structure, inevitably the practice of eviction must be taken by the Semarang City Government to maintain the dignity and beauty of a more ordered environment. Therefore, the issue of eviction is one of the problems to be studied. The dynamics of evictions are often colored by disagreements between the government and its citizens. The common ground between the two often does not lead to successful negotiations, so it is natural that most cases of evictions are contradictory. We can see this from the various forms of vertical power conflicts between the two poles, namely the government and its citizens, both on the surface and resistance behind. The problem in this research is about how the relation between the power of the settlement spatial policy between the residents of Tambakrejo and the Semarang City Government, the implications of the normalization policy of the East Banjir Kanal river for the residents of Tambakrejo.
This research is a descriptive qualitative research, with the aim of describing phenomena, and analyzing field facts that are associated with theory. Collecting data in this study using participatory observation techniques, in-depth interviews, documentation, literature review. Analysis of the data used in this research is gender analysis.
The results showed that the relation between the power of settlement spatial policy between the residents of Tambakrejo and the Semarang City Government found a meeting point between the two parties. The Tambakrejo residents chose to stay in Kalimati, the former Kalibanger until their dwellings were completed, while the Semarang City Government, through the Public Works Office and the Housing and Settlement Office, were willing to build Tambakrejo residents in the form of a series of houses near the current place which is located near the sea so residents Tambakrejo, the majority of whom work as small fishermen, can go fishing. In addition, in the Semarang City government site plan, this normalization is not only aimed at overcoming floods but also functions as public facilities and water tourism.