Standardisasi terjemah Al-Qur’an oleh negara melalui Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) tak menutup potensi lahirnya terjemah lain yang berbeda dengan terjemah otoritatif tersebut. Pada tahun 1997, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menerbitkan Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya (QKTA) di tengah menguatnya isu feminisme di Indonesia menjelang era Reformasi. Akan tetapi, respon QKTA terhadap isu ini relatif berbeda dengan terjemah resmi negara. Ayat wa lir-rijāli ‘alaihinna darajah pada QS. Al-Baqarah[2]: 228 diterjemahkan dengan tanggungjawab laki-laki sederajat lebih tinggi daripada wanita, sedangkan terjemah Kemenag edisi 2002 menerjemahkannya dengan para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Adapun term faḍribū pada QS. An-Nisā’[4]: 34 diterjemahkan dengan berilah sanksi yang mendidik, sementara dalam terjemah Kemenag edisi 2002 diterjemahkan dengan (kalau perlu) pukullah mereka. Demikian pula mengenai penciptaan Ḥawa’ pada QS. An-Nisā’[4]: 1, QKTA memahami bahwa Ḥawa’ diciptakan dari makhluk yang sejenis dengan Adam, sementara terjemah kemenag edisi 2002 memahami bahwa Ḥawa’ diciptakan dari diri Adam.
Dalam hal ini, perbedaan latar keilmuan dan motif penerjemah dalam menerjemahkan perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengungkap dua hal. Pertama, bagaimana narasi feminisme Islam dalam Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya (QKTA). Kedua, bagaimana relasi antara realitas sosial yang mengitari dengan hasil terjemahan pada QKTA.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model studi kepustakaan (library research). Data primer dalam penelitian ini dihimpun dari teks terjemahan versi QKTA mengenai term darajah pada QS. Al-Baqarah[2]: 228, nafs wāḥidah, istamta’a, qawwāmūn dan faḍribū pada QS. An-Nisā’[4]: 1, 24 dan 34 serta term kawā’ib pada QS. An-Naba’[78]: 33 yang dipersoalkan oleh para mufasir feminis. Adapun data sekunder diambil dari buku biografi tentang Zaini Dahlan sebagai penerjemah. Data dianalisis menggunakan metode analisis wacana kritis Teun A. van Dijk yang meliputi analisis aspek kebahasaan dalam teks terjemahan serta meninjau kognisi penerjemah dan konteks sosial yang melatari hasil terjemahan.
Temuan penelitian ini menyatakan bahwa terjemahan ayat-ayat sensitif gender pada QKTA, relatif selaras dengan pemahaman para tokoh feminis seperti Amina Wadūd, Asghar Ali Engineer dan Zaitunah Subhan. Hal ini dapat dilihat dari terjemahan term kunci; darajah, nafs wāḥidah , istamta’a, qawwāmūn dan faḍribū serta kawā’ib yang diterjemahkan dengan prinsip metafora (majāz) dan penghalusan bahasa (kināyah). Hasil penerjemahan tersebut sejatinya dikontruk oleh kognisi Zaini Dahlan sebagai penerjemah dalam merespon isu feminisme yang menjadi arus utama kajian para akademisi pada masa akhir Orde Baru menjelang Reformasi.