Nahdlatul Ulama (NU) dalam penentuan awal bulan memiliki metode imkan rukyat dan qath’i rukyat, namun secara pelaksanaan NU lebih menggunakan metode imkan rukyat yang lebih mengedepankan pembuktian visibilitas hilal sebagai acuan penetapan awal bulan hijriyah. Meskipun mengandalkan pembuktian hilal. Imkan Rukyat yang digunakan NU menggunakan kriteria 3 derajat untuk ketinggian hilal dan 6,4 derajat untuk elongasinya yang sebelumnya menggunakan kriteria 2 derajat ketinggian hilal dan 3 derajat elongasi. Mengikuti himbauan pemerintah untuk memperbaharui kriteria dari MABIMS menjadi kriteria Neo-MABIMS. Dalam pelaksanaannya, penulis menganalisa ada beberapa bulan yang sudah memenuhi kriteria, namun tidak didapatkannya visibilitas hilal dengan kendala cuaca yang mendung. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut dan juga menjadi agar jumlah hari bulan berikutnya tidak menjadi 28 hari, NU merumuskan batas maksimal kriteria penentuan hilal dengan merumuskan elongasi 9,9 derajat sebagai batas atasnya. Rumusan tersebut diberinama Qath’I Rukyat, karena secara eksplisit NU sendiri sebelum pembaharuan sudah tidak menggunakan metode Qath’i Rukyat secara etimologi yang sudah dirumuskan dimana pembuktian hilal dilakukan tanpa adanya perhitungan. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa imkan ini di gunakan untuk memeriksa baik menerima maupun menolak hasil pengamatan disesuaikan dengan kriteria yang ada.