Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Banyak faktor yang dapat menyebabkan gagalnya tujuan bersama suami-isteri dalam mewujudkan keluarga bahagia, salah satunya adalah apa yang disebut dengan term nusyuz dalam wacana fiqih yang secara singkat dapat disebut dengan perilaku ‘durhaka’, baik dari pihak suami maupun isteri. Siti Musdah Mulia menyatakan pemahaman masyarakat itu dibangun dengan paradigma yang subordinatif dan memarjinalkan perempuan, maka efeknya hanya diterapkan pada perempuan. Bahkan dalam UU Perkawinan kita, nusyuz hanya untuk perempuan. Hal tersebut sebagaimana tercantum pada peraturan perkawinan dalam KHI, bahwa nusyuz hanya melekat pada perempuan. Jadi tidak salah jika dikatakan bahwa pasal tentang nusyuz dalam KHI itu bertentangan dengan al-Quran

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana pendapat Siti Musdah Mulia terhadap Pasal 84 KHI tentang nusyuz? 2) Bagaimanakah istimbat hukum yang digunakan oleh Siti Musdah Mulia dalam mengkritisi Pasal 84 KHI tentang nusyuz?

Jenis penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan deskriptif analitik, dengan sumber data primer buku, artikel tulisan di majalah Siti Musdah Mulia tentang nusyuz seperti buku berjudul Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, artikel tentang nusyuz Pembangkangan Terhadap Perintah Tuhan, Bukan terhadap Perintah Suami dan sumber data sekunder berupa buku-buku pendukung yang terkait dengan nusyuz.

Hasil penelitian menunjukkan: 1) Pendapat Siti Musdah Mulia terhadap Pasal 84 KHI tentang nusyuz mengarah pada perlunya pembenahan kembali pasal 84 karena pasal ini tidak mencerminkan prinsip maslahah, keadilan, penegakan HAM pluralism dan demokrasi karena pasal ini hanya menjadikan wanita sebagai pihak yang dirugikan dan pihak laki-laki menjadi superioritas hukum. Pasal ini juga akan mengakibatkan banyanya terjadi KDRT dalam rumah tangga yang akan merugikan wanita. KHI seharusnya tidak hanya menggunakan rujukan fiqih klasik yang banyak dipengaruhi budaya patrialistik, namun harus melihat kondisi riel dalam masyarkat Indonesia, sehingga produk hukum yang berlaku berlandaskan kemaslahatan dan keadilan dan tidak bias gender. 2) Istimbat hukum yang digunakan oleh Siti Musdah Mulia dalam mengkritisi Pasal 84 KHI tentang nusyuz dengan meggunakan metode historis-kontekstual dalam memahmi dalil dan penerapan hukum didsarkan kepada kemaslahatan dan susai dengan waktu dan dan keadaaan masing-masing Negara atau masyarakat.