Perdamaian yang terjadi akibat konflik fisik memerlukan perawatan makna damai yang jauh lebih besar untuk mewujudkan pemulihan. Perjuangan yang dilakukan oleh inong balee merupakan tindakan yang membutuhkan pengakuan serta kepedulian yang besar atas penderitaan yang inong balee alami. Namun dewasa ini, inong balee yang merupakan sayap perjuangan kemerdekaan Aceh serta menjadi gerakan perempuan terbesar di Aceh justru mengalami marginalisasi gender. Maka, studi ini dimaksudkan untuk menjawab kondisi yang dialami oleh inong balee tentang: (1) Bagaimana persepsi inong balee terhadap hasil MoU Helsinki? (2) Bagaimana upaya yang dilakukan oleh inong balee dalam memperjuangkan haknya sesuai MoU Helsinki? Permasalahan ini akan diteliti melalui studi lapangan. Penelitian menggunakan penelitian kualitatif dengan studi penelitian di Aceh. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dokumentasi serta melalui Focus Group Discussion (FGD). Semua data akan dianalisis dengan pendekatan studi kasus dan analisis deskriptif menggunakan logika induksi, deduksi dan refleksi.
Kajian studi kasus ini menunjukkan bahwa (1) persepsi inong balee terhadap MoU Helsinki merupakan Kesepakatan damai yang disepakati bukan melalui proses yang rasional melainkan proses resepsi, sehingga tindakan penganutnya bukan lagi tindakan yang dikehendaki oleh diri sendiri. (2) Upaya yang dilakukan oleh inong balee dalam mewujudkan realisasi MoU Helsinki adalah dengan mengembangkan kembali identitas kolektif yang bertujuan untuk menyuarakan kesamaan hak antar pasukan GAM. Serta, melakukan pergerakan komunikasi dengan pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak inong balee yang bukan hanya sekedar perhatian formalitas. Perjuangan yang dilakukan oleh inong balee bukan semata-mata menginginkan kompensasi melainkan menentang kebijakan politik yang nepotisme dan korupsi, yang justru menjadi penyebab pemulihan dalam konsep damai hanya dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Kata kunci: Inong Balee, Mou Helsinki, Marginalisasi Gender, Makna Damai
 
ABSTRACT:
Peace that occurs as a result of physical conflict requires much greater maintenance of the meaning of peace to realize recovery. The struggle carried out by Inong Balee is an action that requires recognition and great concern for the suffering that Inong Balee has experienced. However, nowadays, the Inong Balee, which is a wing of the Acehnese independence struggle and is the largest women's movement in Aceh, is actually experiencing gender marginalization. So, this study is intended to answer the conditions experienced by Inong Balee regarding: (1) How do Inong Balee perceive the results of the Helsinki MoU? (2) What efforts did Inong Balee make in fighting for his rights according to the Helsinki MoU? This problem will be researched through field studies. The research uses qualitative research with research studies in Aceh. Research data was collected through observation, interviews, documentation and through Focus Group Discussions (FGD). All data will be analyzed using a case study approach and descriptive analysis using the logic of induction, deduction and reflection.
This case study study shows that (1) Inong Balee's perception of the Helsinki MoU is a peace agreement agreed not through a rational process but rather a reception process, so that the actions of its adherents are no longer actions that are desired by themselves. (2) The efforts made by Inong Balee in realizing the Helsinki MoU were to re-develop a collective identity aimed at voicing equal rights between GAM troops. As well as, carrying out communication campaigns with the government to fight for the rights of Inong Balee which is not just a matter of formality. The struggle carried out by Inong Balee was not merely seeking compensation but rather opposing political policies of nepotism and corruption, which were actually the cause of recovery in the peace concept only felt by certain groups.
Key words: Inong Balee, Helsinki Mou, Gender Marginalization, Meaning of Peace