Pakaian bekas impor dapat mengandung potensi penyebaran virus dan bakteri. Dalam situasi ini, konsumen berada diposisi yang rentan karena tidak ada standar yang jelas terkait kualitas dan kebersihan pakaian, serta minimnya kewajiban pelaku usaha untuk menyediakan informasi yang transparan mengenai produk yang dijual. Selain itu, hak konsumen untuk mengembalikan atau menukar barang sering kali terabaikan. Tentunya, pelaku usaha harus bertanggung jawab sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Konsumen berhak mendapatkan informasi akurat, ganti rugi jika barang tidak sesuai, serta kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Data yang digunakan mencakup data primer dan sekunder, yang diperoleh melalui wawancara. Teknik analisis data yang diterapkan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh: Pertama, Pada prinsipnya, transaksi yang dilakukan pelaku usaha dengan konsumen sesuai dengan hukum positif. Namun pakaian bekas yang menjadi obyek barang untuk diperjualbelikan diperoleh dengan cara yang ilegal. Sehingga hal tersebut melanggar hukum positif. Kedua, Dari wawancara dengan empat penjual pakaian bekas di Kota Semarang, peneliti menyimpulkan bahwa pelaku usaha cenderung tidak bertanggung jawab atas ganti rugi yang seharusnya diterima konsumen sesuai Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain itu juga melanggar beberapa hak konsumen dalam Pasal 4 ayat (1), (3), (4),(6), dan (8), serta kewajiban dalam Pasal 7 ayat (2), (4), dan (6), termasuk memberikan informasi yang jujur, menyediakan barang sesuai standar, dan memberikan kompensasi. Pelanggaran lain terjadi pada Pasal 8 ayat (2) yang mengatur larangan bagi pelaku usaha.