Metode Mappabaja merupakan metode melihat Bulan dengan menggunakan kain tipis hitam. Setelah berlakunya sidang Isbat, metode mappabaja sudah tidak digunakan lagi oleh kalangan Suku Bugis. Hanya saja metode mappabaja diadopsi oleh Jama’ah An-Nadzir mulai Tahun 1997 M sebagai salah satu metode dalam menetapkan awal Bulan Hijriah. Tehnik penggunaan metode mappabaja dengan metode rukyatulhilal terdapat perbedaan dari segi waktu dan alat bantu yang digunakan, sehingga perlunya mengkaji metode tersebut dari sudut pandang astronomi dan fikih.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dirumuskan menjadi dua rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimana metode rukyat mappabaja dalam perspektif astronomi? 2) Bagaimana metode mappabaja ditinjau dari sudut pandang fikih?
Dari permasalahan tersebut, dibahas melalui penelitian pustaka. Mengumpulkan data-data dengan metode wawancara dan dokumentasi. Sumber data berasal dari hasil wawancara yang terkait tentang sejarah mappabaja, dan konsep metode rukyat mappabaja. Data-data tersebut dianalisis menggunakan pendekatan multidisipliner. Analisis data dengan cara reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Setelah itu hasil analisis dituangkan dengan cara deskriptif kualitatif.
Penelitian ini menyimpulkan, pertama, metode rukyat mappabaja perspektif astronomi adalah objek yang diamati bukan hilal melainkan Bulan sabit tua, dimana yang menajdi objek utamanya adalah cahaya Bulan tersebut. Bulan sabit tua muncul di hari ke-26, 27, 28, sementara hilal muncul di hari ke-29. Kedua, metode rukyat mappabaja perspektif fikih adalah hasil rukyat penetapan awal Bulan metode mappabaja tidak sah, sehingga hasil rukyat metode ini tidak dapat dijadikan acuan dalam penetapan awal Bulan Hijriah. Penyebabnya karena tehnik rukyat metode mappabaja tidak sesuai dengan tehnik rukyatulhilal yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Kata Kunci : Mappabaja, Rukyatulhilal, Hijriah, Suku Bugis.

ABSTRACT:
Using a thin black cloth, one can observe the Moon using the mappabaja method. The Bugis tribe stopped using the mappabaja method after the Isbat session was put into place. Simply put, Jama'ah An-Nadzir began using the mappabaja method as one of the techniques for establishing the start of the Hijriah Month in 1997 AD. It is vital to examine both the mappabaja method and the rukyat al-hilāl method from the perspectives of astronomy and fiqh because there are variations in the time and tools required for each strategy.
Two problem formulations are developed based on the previously mentioned context of the problem, which are as follows: 1) In terms of astronomy, what is the rukyat mappabaja method? 2) What is the fiqh perspective on the mappabaja method?
Research from libraries is used to discuss these issues. employing documentation and interview techniques to gather data. Interviews pertaining to the history of mappabaja and the idea behind the mappabaja rukyat method serve as the data source. To analyze these data, a multidisciplinary method was used. Data reduction, data visualization, and conclusion drawing are methods of data analysis. The analysis's findings are then presented in a qualitatively descriptive way.
The study comes to the following conclusions: first, that the major object viewed by the rukyat mappabaja method, which is the moon's light, is not the crescent moon but rather the waning crescent moon. On the 26th, 27th, and 28th days, the old crescent moon is seen, and on the 29th day, the crescent moon is visible. Second, from a fiqh standpoint, the rukyat mappabaja technique yields the invalid result of the rukyat for finding the month's beginning; so, the results of this method's rukyat cannot be utilized as a guide for identifying the month's beginning in Hijri. The issue is that the mappabaja method's rukyat methodology does not align with Rasulullah Saw's rukyat al-hilāl technique.
Keywords: Mappabaja, Rukyatulhilal, Hijri Month, Bugis Tribe.