Penelitian ini membahas tentang ayat-ayat-al-Qur`an yang dijadikan sebagai wirid dalam Tradisi Puasa Nyireh di Pesantren Darul Falah Kudus. Puasa Nyireh merupakan sebutan dari puasa sunnah yang disertai dengan perilaku Tarku Mā Fīh al-Rūh wa Mā Yakhruju Minhā dan pembacaan membaca wirid ayat-ayat al-Qur`an yang telah dipilih dan dikelompokkan secara khusus berdasarkan tingkatan dan fāḍīlah nya. Fokus penelitian ini adalah menggambarkan pengamalan tersebut, serta menganalisa Resepsi dan makna dari pengamalan tersebut. Untuk mengungkap itu semua, penulis menggunakan teori Resepsi Sastra milik Wolfgang Iser serta yang berorientasi pada respon pembaca terhadap karya sastra. Ia mengenalkan konsep Implied Reader untuk memahami respon dari pembaca terhadap karya sastra serta ralisasinya terhadap teks tersebut. Sehingga memunculkan pemahaman dan pemaknaan baru. Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif, suatu penelitian dengan cara mengambil data secara tertulis dari sebuah fenomena atau prilaku tertentu. Melalui pendekatan Fenomenologi yang berfokus pada Deskripsi Struktural, penulis berusaha mendapatkan pengetahuan baru dengan langkah sistematis, kritis, logis serta tidak berdasarkan kepada prasangka dan dogma tertentu, demi mendapatkan jawaban tentang makna dari fenomena tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Puasa Nyireh merupakan merupakan sebutan dari puasa sunnah yang disertai dengan perilaku Tarku Mā Fīh al-Rūh wa Mā Yakhruju Minhā yang diamalkan oleh para santri di Pesantren Darul Falah yang memiliki beragam faḍīlah, seperti: Padang ati, Tolak Sihir, Narik Ilmu, Benteng, Bungkem wong liyo dan Narik rejeki. Faḍīlah yang beragam tersebut tidak terlepas dari bacaan Wirid Nyireh yang khas, yaitu terdapat ayat-ayat al-Qur`an yang dipilih secara khusus dan dipercaya memiliki ragam faḍīlah. Kedua, bacaan ayat-ayat al-Qur`an di dalam wirid Nyireh tidak lepas dari Resepsi al-Qur’an yang dilakukan oleh Mūjiz dan santri yang kemudian melahirkan praktik serta pemaknaan baru terhadap ayat-ayat al-Qur`an itu. Pemaknaan tersebut kemudian menjadi wacana keutamaan al-Qur`an dan melahirkan suatu makna tersendiri yang beriringan dengan makna penghormatan terhadap leluhur, ketundukan kepada guru, dan ikatan sosial yang menentukan bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan.

ABSTRACT:
This study discusses the verses of the Qur’an which are used as wirid in the Nyireh Fasting Tradition at Darul Falah Kudus Islamic Boarding School. Puasa Nyireh is the designation of sunnah fasting accompanied by the behavior of Tarku Mā Fīh al-Rūh wa Mā Yakhruju Minhā and the recitation of the wirid verses of the Qur’an that have been selected and grouped specifically according to their level and fāḍīlah. The focus of this study is to describe the practice, as well as analyze the reception and meaning of the practice. To uncover it all, the author uses Wolfgang Iser’s theory of Literary Reception as well as those oriented to the reader’s response to literary works. He introduced the concept of Implied Reader to understand the reader’s response to the literary work and its ralization of the text. So that it gives rise to new understanding and meaning. This research is qualitative research, a study by taking data in writing from a certain phenomenon or behavior. Through a Phenomenological approach that focuses on Structural Description, the author seeks to gain new knowledge with systematic steps critically, logically and not based on certain prejudices and dogmas, in order to get answers about the meaning of the phenomenon.
The results of the studyshowed that: First, Nyireh Fasting is the designation of sunnah fasting accompanied by the behavior of Tarku Mā Fīh al-Rūh wa Mā Yakhruju Minhā practiced by students at Darul Falah Islamic Boarding School which has a variety of faḍīlah, such as: Padang Ati, Tolak Sihir, Narik Ilmu, Benteng, Bungkem wong liyo and Narik Rejeki. The diverse faḍīlah is inseparable from the typical Wirid Nyireh reading, which is that there are specially selected verses of the Qur’an and are believed to have a variety of faḍīlah. Second, the recitation of the verses of the Qur’an in the wirid Nyireh cannot be separated from the reception of the Qur’an carried out by Mūjiz and santri which then gave birth to new practices and meanings of the verses of the Qur’an. This meaning then becomes a discourse of the primacy of the Qur’an and gives birth to a meaning of its own that goes hand in hand with the meaning of respect for ancestors, submission to teachers, or social ties that determine how the tradition is carried out.