Misyār merupakan fenomena yang pernah terjadi di masa lalu namun juga terdapat sumber yang menyatakan nikah ini sebagai nawāzil al-ahkām (hukum yang baru) dalam syariat Islam, memiliki syarat dan rukun sebagaimana pernikahan pada umumnya, tetapi menggugurkan salah satu syaratnya tanpa bisa menjadikan gugur pernikahan tersebut dengan berbagai polemik pendapat yang para pemikir islam kemukakan, sebagaimana pendapat Wahbah az-Zuḥaili yang memperbolehkan terjadinya nikah misyār. Peneliti bermaksud meneliti bagaimana Al-Qur’an menjawab hukum pernikahan ini melalui ayat-ayat yang ,berkesinambungan dengannya. Penulis menggunakan pendekatan Content Analysis/ Filosofis melalui library research berupa analisis historis dengan meneliti cara pandang atau paradigma yang bertujuan guna menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah atas sesuatu yang berada dibalik objek formanya dengan melibatkan analisis sejarah berupa penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa di masa lalu melalui penafsiran Wahbah az-Zuḥaili dalam tafsir al-Munīr pada surat an-Nūr ayat 32 dan surat at-Talaq ayat 6-7 yang menjadikan landasan diperbolehkannya nikah misyār tetapi dengan disertai kemakruhan. Beliau menafsirkan ayat-ayat nikah misyār dengan menyebutkan penganjuran menikah dan hukum pernikahan atas hak istri yang tidak diberikan. Faktor yang melatarbelakangi penafsiran beliau dalam konteks keilmuan dan sosial di negara yang beliau singgahi saat itu, dan beliau menafsirkan dengan melalui sumber kitab-kitab fikih ulama lain yang berliau kemukakan pula dalam kitab fiqih karangannya yaitu Mausū’ah al-Fiqh al-Islam Qaḍāyā al-Muasirah.