Pada dasarnya pemerkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia (laki-laki) di luar perkawinan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan primitif yang terdapat pada masyarakat manapun. Gejala pemerkosaan merupakan salah satu tantangan sosial yang harus dipikirkan secara serius. Ketika hubungan antar lawan jenis sudah tidak lagi mengindahkan aturan-aturan agama dan norma-norma lainnya maka yang terjadi adalah munculnya berbagai fenomena yang menyedihkan. Banyak wanita hamil di luar nikah, bahkan tak sedikit yang gelap mata sehingga tega menggugurkan janinnya atau membunuh bayi sesaat setelah ia lahir. Belum lagi munculnya berbagai penyimpangan seksual seperti terjadinya pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Dari dulu hingga sekarang, pemerkosaan bukan hanya kekerasan seks semata, tapi selalu merupakan suatu bentuk prilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu. Karena itu, pandangan masyarakat mengenai perkosaan merupakan cermin nilai-nilai masyarakat, adat, agama, bahkan lembaga-lembaga besar seperti negara. Sepintas lalu, kasus pemerkosaan tidak lagi menarik dari pada kasus kekerasan lainnya, atau kalaupun jadi menarik biasanya pemerkosaan dengan putusan hakim yang ringan, ini mungkin menyangkut cara pandang orang tentang pemerkosaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penetapan hukum dan untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 469 /Pid. B/ 2010/ PN. SMG. tentang pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), dimana data primernya adalah Putusan Pengadilan Negeri Semarang, sedangkan data sekundernya adalah seluruh dokumen yang berupa buku-buku, dan kitab yang membahas tentang zina, zina dengan unsur paksaan (pemerkosaan) dan pertanggungjawaban pidana.
Sebenarnya Pengadilan Negeri Semarang dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa telah mempertimbangkan hal-hal yang terdapat pada diri terdakwa dan tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam syari’at Islam. Dimana hukuman 5 (lima) tahun penjara dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) jika denda tersebut tidak bisa dibayar diganti kurungan selama 4 bulan, melihat pelaksanaan hukuman hadd yang dilakukan di depan umum dengan cambukkan sebanyak seratus kali dapat membuat jera terdakwa, karena adanya rasa sakit dan tekanan mental yang luar biasa serta adanya pengasingan selama 1 (satu) tahun. Sehingga menurut penulis, itu masih kurang dan tidak sepadan dengan hukuman hadd. Vonis berat pidana Islam terhadap pelaku perkosaan diharapkan dapat mengurangi dan menghentikan praktek zina dan pemerkosaan sehingga setiap diri dapat mempertahankan kehormatan dan memelihara jiwa.