Status kesaksian wanita dalam hukum pidana Islam menurut pendapat Ibn Hazm
Alim, Pradita Nur (2016) Status kesaksian wanita dalam hukum pidana Islam menurut pendapat Ibn Hazm. Undergraduate (S1) thesis, UIN Walisongo.
112211038.pdf - Accepted Version
Download (3MB) | Preview
Abstract
Dalam perkara hukum pidana alat-alat bukti (bayyinah) memiliki peran yang penting dalam memperlancar jalannya persidangan, salah satu alat bukti tersebut adalah kesaksian. Saksi adalah orang yang melihat dan mengetahui sendiri terjadinya suatu peristiwa, kesediaan menjadi saksi hukumnya Fardhu Kifayah. Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal tidak memperbolehkan wanita menjadi saksi dalam perkara tertenrtu salah satunya adalah tidak memperbolehkan perempuan menjadi saksi dalam wilayah hukum hudud dan qishash, sedangkan hanya saksi laki-laki yang adil saja yang dapat diterima kesaksiannya. kemudian Ibnu Hazm memiliki pemahaman bahwa kesaksian wanita dapat diterima semua hal, sebagaimana kesaksian laki-laki dalam berbagai peristiwa hukum, Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pendapat Ibn Hazm tentang kesaksian wanita? dan Bagaimana aplikasi pendapat Ibnu Hazm dikaitkan dengan era sekarang?
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku dan data-data yang di peroleh dari studi pustaka baik diperoleh dari buku, catatan ,laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu, jenis penelitian ini dipergunakan untuk mengkaji dan menelusuri pustaka-pustaka yang berkaitan erat dengan persoalan hukum Islam khususnya kesaksian wanita.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa wanita dapat menjadi saksi untuk segala sesuatu sepanjang dengan ketentuan untuk satu orang laki-laki sama dengan kedudukan dua orang wanita dalam perkara kesaksian baik itu dalam hudud maupun qishas, di dasarkan pada Alquran surah an-Nur:4, al Baqarah: 282, ayat-ayat kesaksia tesebut berlaku umum yang menjadi tunjukannya laki-laki namun termasuk didalamnya juga wanita, karena tidak dibedakan antara jenis kelamin. Pendapat Ibnu Hazm ini juga didasarkan pada hadits rasul yang di riwayatkan oleh bukhari yang menyatakan bahwa kesaksian wanita setengah dari kesaksian laki-laki, hadits tersebut bersifat umum tanpa menyebut kasus perdata atau pidana.
Seiring dengan perubahan sosial di masyarakat yang memungkinkan kaum perempuan untuk terjun dan di berbagai urusan publik, termasuk untuk mendapatkan pendidikan tinggi, bekerja di berbagai sektor lapangan pekerjaan, bahkan untuk menjabat sebagai kepala negara, maka ketentuan yang menyatakan bahwa perempuan adalah pelupa sehingga nilai kesaksiannya hanya dihargai separoh dari nilai kesaksian kaum laki-laki perlu ditinjau kembali, kenyataan sekarang perempuan telah setara dengan laki-laki dalam segala bidang maka sepatutnya perempuan juga disetarakan dengan laki-laki dalam posisinya sebagai saksi dalam semua urusan termasuk dalam jinayat khususnya hudud dan qishas. melihat perkembangan zaman pemikiran Ibnu Hazm semestinya bisa di terapkan.
Item Type: | Thesis (Undergraduate (S1)) |
---|---|
Additional Information: | Pembimbing: Drs. Eman Sulaeman, M. H.; Drs. H. Mohammad Solek, M. A. |
Uncontrolled Keywords: | Kesaksian wanita; Ibnu Hazm; Hukum pidana Islam |
Subjects: | 200 Religion (Class here Comparative religion) > 290 Other religions > 297 Islam and religions originating in it > 297.2 Islam Doctrinal Theology, Aqaid and Kalam > 297.27 Islam and social sciences > 297.272 Islam and politics, fundamentalism |
Divisions: | Fakultas Syariah dan Hukum > 74231 - Hukum Pidana Islam |
Depositing User: | Nur Rohmah |
Date Deposited: | 13 Sep 2016 00:35 |
Last Modified: | 13 Sep 2016 00:35 |
URI: | https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/5727 |
Actions (login required)
Downloads
Downloads per month over past year